PERJANJIAN KAWIN DILIHAT DARI SUDUT BUDAYA

Sebagai seorang pengacara, saya sering mendapat pertanyaan dari orang-orang.

“Pak Kurnianto, apa Perjanjian Kawin (Prenuptial Agreement) itu ?”

“Untuk apa Perjanjian Kawin itu dibuat?”

Inilah pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul dan lagi tren dewasa ini?

Sebagai seorang pengacara, tentu saya mempunyai kewajiban moril untuk memberikan pencerahan hukum bagi teman-teman dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Dilihat dari sejarahnya. Perjanjian Kawin ini, berasal dari budaya barat, yang bersifat individual. Peraturan itu diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau dalam bahasa Belanda disebut Burgelijk Wetboek voor Indonesie, biasa disingkat B.W.

B.W. berasal dari negeri Belanda.Sementara, Belanda mengadopsinya dari Romawi di Eropa Kontinental.

Saat-saat kini, lagi tren di sebagian masyarakat kita membuat Perjanjian Kawin pada saat mereka kawin. Terutama bagi kalangan orang berduit yang kebanyakan tinggal di kota-kota besar seperti Kota Jakarta, Surabaya dan lainnya.

Bila dilihat dari sudut budaya masyarakat Indonesia, yang bersifat kolektif dan kolegial. Sebetulnya, Perjanjian Kawin tidaklah sesuai dengan budaya rakyat Indonesia.

Budaya Indonesia, setelah kawin dianggap telah membentuk sebuah keluarga atau rumah tangga yang utuh. Penghasilan suami adalah penghasilan istri. Sebaliknya, penghasilan istri adalah penghasilan suami. Penghasilan suami istri adalah untuk kepentingan keluarga.

Kebanyakan istri-istri di Indonesia adalah ibu rumah tangga. Yang merawat anak-anak dan mengurus rumah tangga. Seperti mengantar anak sekolah dan pekerjaan rumah tangga lainnya.

Jadi kebanyakan istri di Indonesia tidak bekerja. Maka, tentu Perjanjian Kawin dapat merugikan ibu-ibu rumah tangga atau istri-istri yang sebagian besar tidak bekerja atau tidak berpenghasilan.

Karena menurut Perjanjian Kawin, penghasilan yang diperoleh suami merupakan hak suami. Misalnya, penghasilan suami yang digunakan untuk membeli rumah, tanah, mobil dan aset-aset lain, tetaplah merupakan milik suami. Lalu istri tidak berhak atas aset-aset ini.

Nah, Perjanjian Kawin demikian, tidaklah adil bagi sebagian besar istri di Indonesia yang tidak bekerja dan merupakan ibu rumah tangga.

Demikian sedikit tulisan dari saya, semoga bermanfaat.

Jakarta, 16 Januari 2018
Kurnianto Purnama, SH.MH.