Oligarki Ancaman bagi Demokrasi

Demokrasi memang tak pernah selesai di bincangkan, demos dan kratos yang mengandung arti pemerintahan rakyat, dalam perjalanannya kian menemui berbagai terjal baik dari kelompok yang menentang maupun yang menyembahnya. Demokrasi seakan menjadi piliha tyerkahir dari satu kehidupan bernegara. Demokrasi mengalami dirupsi sosial sehingga menyebabkan berbagai kekisruhan muncul dipermukaan sebagai efek domino dari cara bangsa membangun demokrasi, sekalipun masih sangat sarat kepentingan dan tafsir.

Hasil berbagai survei mengenai politik Indonesia tidak jarang menyimpulkan bahwa 13 Tahun Reformasi tidak membawa perubahan mencolok di Indonesia. Bahkan keadaan pada masa Orde Baru dipandang jauh lebih baik ketimbang masa Reformasi ini.
Kadang pemimpin negara di era Reformasi dipandang kurang tegas, dibandingkan era Soeharto. Ekonomi Indonesia secara konsisten juga tetap tumbuh dengan angka cukup tinggi. Pemerataan ekonomi juga dipandang lebih baik pada era Soeharto. Pandangan itu tidak semuanya benar, tapi juga tidak semuanya salah. Benar bahwa Presiden Soeharto jauh lebih tegas. Benar bahwa stabilitas politik dan keamanan jauh lebih terjaga dalam jangka lama di era Soeharto.

Namun, bagaimana dengan nasib orang-orang tertindas yang tidak dapat menyuarakan pendapat mereka Bagaimana pula oligarki kekuasaan pada masa itu tunduk pada diri seorang Soeharto. Soeharto menguasai semua aspek kehidupan masyarakat melalui organisasi-organisasi kemasyarakatan yang dibangun dengan sistem korporatisme negara yang semua ditujukan bagi penumpukan kekuasaan di tangan Soeharto dan para kroninya.

Memang pada masa itu Soeharto menjadi tokoh paling berkuasa dan tak ada orang atau kelompok yang memiliki kekuasaan politik atau ekonomi mampu untuk menantang Soeharto. Jaringan intelijen, birokrasi, politik, dan ekonomi yang bertumpu pada beberapa orang Soeharto menjadikan negeri ini benar-benar dikuasai para monarchi tersebut. Pada era Reformasi, orang suka sekali menyalahkan sistem politik yang demokratis sebagai penyebab dari segala keterpurukan di negeri ini.

Padahal, kita mengetahui betapa oligarki kekuasaan masih membelenggu partai-partai politik, sehingga mengganggu proses demokrasi, bahkan di dalam partai itu sendiri. Kekuatan oligarki juga tampak pada sendi-sendi kehidupan lain. Jika kita lihat dari sisi penumpukan kekayaan, era Reformasi, khususnya di era saat ini , tampak jelas betapa mereka yang kaya semakin kaya. Namun, mereka yang miskin dan tidak berdaya, semakin banyak pula. Kita juga akan semakin terperanjat betapa uang yang mereka taruh di Singapura semakin tahun semakin banyak pula.

Hasil kajian Prof Jeffrey Winters dari Northwestern University,AS, mengutip data dari Capgemini and Merrill Lynch menunjukkan, pada 2004 saat SBY terpilih menjadi presiden untuk pertama kalinya, ada sekitar 34.000 orang Indonesia yang memiliki aset paling sedikit USD1 juta yang ditaruh di luar negeri. Terus bagaimana dengan Era Jokowi? Tentu lebih parah dari itu. Bahkan suara kritik pun dianggap ancaman bagi rezim saat ini. Demokrasikah ?..

Dari jumlah itu,19.000 di antaranya warga negara Indonesia yang bermukim semipermanen di Singapura. Jumlah itu meningkat menjadi 39.000 pada 2007 dan menjadi 43.000 pada 2010. Kekayaan rata-rata mereka pada 2010 sebesar USD4,1 juta. Jumlah kumulatif kekayaan mereka sebesar USD177 miliar,dan USD93 miliar di antaranya mereka taruh di Singapura.

Meskipun 43.000 WNI yang kaya itu mewakili kurang dari 1 persen penduduk Indonesia, kekayaan mereka setara 25 persen gross domestic product (GDP) Indonesia. Lebih menarik lagi, hanya 40 orang Indonesia yang kekayaan kumulatifnya setara dengan 10,3 persen GDP Indonesia. Kajian Winters yang diterbitkan oleh majalah Inside Indonesia No 104 edisi April Juni 2011 yang terbit di Australia, juga membandingkan 40 orang kaya di Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Singapura.

Total kekayaan 40 orang Indonesia adalah yang tertinggi, yakni USD71,3 miliar, dibandingkan Thailand yang USD36 miliar, Malaysia USD51,3 miliar, dan Singapura yang USD45,7miliar. Skor indeks konsentrasi kekayaan 40 orang Indonesia itu adalah 6,22 atau 3 kali Malaysia (1,65) dan 25 kali Singapura yang hanya 0,25. Gap antara orang kaya dan orang miskin di Singapura tidaklah terlalu jomplang bila dibandingkan Indonesia.
Oligarki pada masa Orde Baru masih dapat dikelola dengan baik oleh Soeharto. Seberapa besar pun kekayaan mereka, semua tunduk pada Soeharto. Apa yang terjadi kini, para oligarki itu semakin liar karena tak ada yang mampu menguasainya. Mereka dapat membayari para politisi pada masa kampanye, membeli para penegak hukum dan bukan mustahil juga dapat menentukan pejabat mana yang patut diangkat atau dipilih untuk menduduki jabatan-jabatan publik.

Dengan uang mereka dapat melakukan segalanya, termasuk membeli suara pemilih melalui uang yang mereka gelontorkan lewat para politisi yang mereka bina atau dukung. Itulah wajah oligarki di Indonesia kini. Jika kita tidak bersatu untuk menantangnya, Republik ini akan ditentukan para oligarki yang belum tentu memiliki keinginan luhur untuk bersama-sama membangun negeri ini.

Jika uang lebih berbicara, politik kita makin parah. Namun, demokrasi kita masih lebih baik ketimbang Filipina yang kekerasan menjadi bagian dari pemilu di sana. Para oligarki Filipina dapat berbuat apa saja, termasuk membunuh lawan-lawan politiknya. Kita masih beruntung, para oligarki itu tidak menyatu dalam satu kekuatan politik yang nyata. Tetapi faktanya kekuasaan di kendalikan dari luar istana, itulah yang di sebut dengan remotkrasi.

Semoga demokrasi tidak mati sebelum ajalnya.