KEBEBASAN YANG TAK MERDEKA

Ada dua makna kata yang sebagian orang mempersepsikan antara “kebebasan” dan “merdeka” adalah sesuatu yang memiliki makna yang sama. Yang berbeda secara etimologis, tetapi sama dalam makna terminologis.

Kelaziman yang ada, biasanya berbeda dalam aspek etimologis karena berbeda kata dasar suatu obyek, tetapi pada aspek terminologis kita kadang menemukan persamaan. Pada wilayah etimologis kata dasar suatu obyek nyaris tak terbantahkan, namun pada aspek terminologis justru kadang sarat dengan asumsi dan perspektif, sehingga kata kebebasan dan merdeka menciptakan perdebatan yang panjang.

Kebebasan lebih dipersonifikasikan pada suatu obyek secara individual dilingkungan tertentu, seperti dikeluarga, contoh misalnya, si Ali begitu tidak punya kebebasan di rumahnya. Disitu ada faktor pranata sosial, adat, yang mengekang sehingga serba terbatas. Yang bisa saja si Ali karena lingkungannya yang serba protective. Kebebasan oleh sebagian orang dipersepsikan sebagai bentuk jiwa-jiwa individu yang tak terkekang.

Sigmund Freud, menyebutnya sebagai pelepasan dari “ketidaksadaran kultural”.
Sedangkan merdeka (kemerdekaan) adalah lebih dilekatkan pada dua aspek, (1) kemerdekaan individu, dan (2) kemerdekaan kelompok, dalam hal ini termasuk masyarakat dan negara. Makna kemerdekaan lebih dilekatkan pada “negara”, yakni suatu negara yang tidak merdeka misalnya.

Pada realitas empirik makna keduanya kebebasan dan merdeka seringkali kita pakai dan melebur dalam persepsi dan perspektif yang sama.

Linguis Swiss Ferdinand de Saussure, dalam karyanya mengetengahkan distingsi fundamental antara bahasa sebagai “langue” dan “parole”. yang secara meyakinkan membentuk linguistik modern. Makna kebebasan dan merdeka secara “langue” sangat mungkin dibentuk oleh aturan dan waktu, sementara “parole” adalah makna-makna dari keduanya dan hanya dapat dilihat dari pesan khusus yang dikandungnya.

Yah, mungkin hal ini sangat mengandung unsur filosofis dan semiotik.

Tetapi yang lebih menarik apabila kata kebebasan dan merdeka ditarik ke dalam ruang sosial kritis, maka kita akan menemukan adanya “amukan sosial” dimana kebebasan dan kemerdekaan tak lagi bernilai.

Fenomena demikian banyak menandai makna “bebas yang tak merdeka”. Buruh pabrik yang di PHK oleh perusahaan. Tidak sedikit kampus memecat (Droup Out) mahasiswanya karena hanya bersifat kritis.

Negara “otoritarian” yang membredel media serta ormas yang pro aktif mengontrol bergeraknya tatanan demokrasi. Padahal buruh, mahasiswa dan media adalah sokoguru tegaknya demokrasi.

Kalau ini mengalami pembunuhan dan pembredelan itu berarti negara telah merobek konsep negara demokrasi. Negara dari sejarahnya hadir untuk menciptakan tatanan sosial yang dinamis, dimana undang-undang atau hukum negara dibuat untuk memberikan jaminan sosial, politik, hukum dan keamanan terhadap warganegaranya.

Sebab negara diyakini sebagai konstruk suatu masyarakat yang besar, bukan lalu menjelma menjadi monster yang menakutkan, yang menjadikan warganegara serba cemas dan penuh ketakutan karena negara sudah melampaui otoritasnya sebagai pelayan publik.

Protes atau kritik warga negara sesungguhnya haruslah dipahami sebagai “political Education”, sebab sebuah negara demokrasi selalu mengharapkan adanya control dari ekstra parlemen (pressure group).

Semua itu adalah bentuk “kesadaran kultural”, bukan sentimental politik belaka. bukankah demokrasi yang mapan apabila di dalam masyarakatnya tersimpan daya kritis? ada kontrol? dengan demikian akan tercipta tatanan kehidupan yang seimbang dari elemen-elemen yang menjadi bagian terpenting dari narasi berkebangsaan.

Bahkan secara yuridis ada ruang kebebasan dan kemerdekaan bagi masyarakat baik ia secara individual maupun secara komunal. Dan itu menjadi hak dasar yang tertuang dalam sebuah konstitusi negara yakni menjamin kebebasan berpendapat sebagai bagian dari ruh Hak Asasi Manusia (HAM).

Jadi pada prinsipnya, negara harus hadir memberikan ruang ekspektasi bukan lalu menjadi memata-matai rakyatnya.

Karenanya, kebebasan dan kemerdekaan adalah merupakan hak dasar (azali) yang dibawa manusia sejak lahir, tinggal bagaimana peran negara untuk melindungi melalui produk undang-undang. Sebab pada prinsipnya tidak ada juga kebebasan dan kemerdekaan tanpa batas, karena dalam kebebasan manusia yang satu juga ada ketidakbebasan manusia lainnya.

Dan penghormatan atas keduanya adalam maujud dari sebuah konsep kemerdekaan itu sendiri.
Dan negara mempunyai kewenangan untuk menciptakan itu, tidak membawa pada makna “bebas yang tak merdeka”.

Kalau seorang tokoh negara (pejabat) negara yang digaji dari uang rakyat, lalu dari lisannya keluar pernyataan dengan nada, akan mempidanakan ucapan tokoh, dan membredel media, sesungguhnya ini adalah bisa dibilang kejahatan politik yang membunuh demokrasi.

Media, adalah “jiwa suci”atas publik, disana pesan-pesan moral dan kebenaran tersuarakan.
Dalam mitologi Yunani Kuno, ada yang dikenal dengan Dewa Hermes, (ia) bertugas menyampaikan misi suci dan kebenaran pada ummatnya. Baik itu pesan dari Dewa maupun pesan dari ummatnya. Dan media pun bertindak layaknya seperti itu, menjadi corong warganegara ke penguasa, sebaliknya dari penguasa ke warganegaranya.

Media hadir untuk membuka ruang publik, ruang intrepretasi, berbagai perspektif yang ada, sebab publik juga bukanlah pemegang otoritas atas kebenaran, dan demikian pula negara (penguasa). Kebebasan tidak mengharuskan adanya penafsir tunggal atas kebenaran yang cendrung monopolistik. Tetapi negara telah mengambilnya secara paksa dengan melakukan intervensi dan mengekang warganegaranya.
Sehingga kalau kita membaca tesis David Easton dalam The Political System nya seharusnya negara hadir memberikan ruang kebebasan dan kemerdekaan bagi warganya sebagai pelaku terbangunnya demokrasi dan keadaban berpolitik. Tetapi sayang, akhir-akhir ini politik-kekuasaan telah merobeknya dengan berbagai kebohongan, kebencian dan kecurangan.

Tetapi anehnya justru penyanggah demokrasi terancam dibredel. Mungkin inilah kisah negeri antah-berantah yang berakhir diujung kematian demokrasi. **semoga tidak terjadi.