Senja menapaki malam, perlahan beranjak menutupi tumpukan awan. Para nelayan bergegas mendayung sampannya ke tepian. Sesekali angin berhembus dan kepak sayap burung melintasi khatulistiwa. Sore itu, tak ada pelangi, berjubel manusia menikmati sajian dari pedagang asongan membelakangi tembok-tembok bangunan di sepanjang pantai tanjung pendam tanah belitung.
Hingga maghrib pun tiba, suara adzan berkumandang merdu dari arah mata angin. Syahdu mengalun laksana membujuk kerinduan di awal malam. Ada yang bergegas pergi menuju mesjid, ada pula yang larut dalam cekrama tanpa judul. Perlahan gelap mulai menyapa, lampu-lampu trotoar pun mulai menyala, cafe di sekitaran lokasi itupun mulai sibuk menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan pengunjung.
Sejenak mataku tertegun, melihat sosok wanita separoh baya memungut sampah sambil memilah kardus-kardus dalam karung. Sesekali menyeka keringat diwajahnya. Sambil berbungkuk berjalan ditengah keramaian. Waktu pun bergerak cepat, wanita separoh baya itu menepi di teras mesjid dekat pantai itu, lalu dengan tenang ia berjalan menuju tempat wudhu, pakaiannya hampir semua basah karena percikan wudhu, matanya sembab, merah, bagaikan ia sedang meletupkan tangisnya ditempat wudhu.
Ia berciri dengan tenang mengangkat kedua tangannya dengan melafazkan Allahu Akbar, begitu dalam ucapan itu,ia seperti mengadu kepada Allah atas jejak hidupnya yang penuh liku. Sesumbar diatas sajadahnya penuh bintik air mata, sujud-sujudnya begitu lama enggan rasanya kepalanya tegak, gerak kepasrahan yang mendalam.
Tangannya gemetar berdoa kepada sang Kuasa, bak menghakimi dirinya yang penuh nohtah, Ia berkata “Tuhan angkat kehinaan ini menjadi kemuliaan”. Kalau sekiranya kematianku adalah panggilanmu akupun ikhlas di nerakamu ya Allah.
Yah, perempuan itu telah menuliskan dirinya dengan airmata.***
*catatan kecil muhasabah*