SELAMAT TINGGAL MITOS, SELAMAT DATANG REALITAS

 

Oleh : saifuddin al mughniy
Centrum Arete Institute
OGIE Institute Research and Political Development
Peneliti di POSTODAI Indonesia
Anggota Forum Dosen Indonesia
Penulis Buku

 

ENTU dari awal penulis sampaikan bahwa judul tulisan tersebut sama persis dengan judul buku yang ditulis oleh Kuntowijoyo, sebagai esai-esai budaya dan politik yang ditulis dengan apik penuh makna dan kedalaman yang tinggi. Tetapi, judul tersebut diatas diangkat semata-mata sebagai bentuk refleksitas dari suatu fenomena yang ada ditahun-tahun yang lalu maupun peristiwa yang terjadi sejak tahun 2019 ini. Pertanyaan yang kadang muncul adalah, apakah segala bentuk peristiwa yang terjadi dibelakangan tahun 2019 ini adalah fakta?, kenyataan?, atau memang semuanya hanya mitos atau mitologi belaka.

Mitos adalah suatu cerita tradisional mengenai peristiwa gaib dan kehidupan dewa-dewa. Istilah mitos (mythos) berasal dari bahasa Latin yang artinya adalah “perkataan” atau “cerita”. Orang pertama yang memperkenalkan istilah mitos adalah Plato. Plato memakai istilah “muthologia”, yang artinya menceritakan cerita sedangkan Fakta adalah, Fakta (bahasa Latin: factus) ialah segala sesuatu yang tertangkap oleh indra manusia atau data keadaan nyata yang terbukti dan telah menjadi suatu kenyataan. … Dalam istilah keilmuan fakta adalah suatu hasil pengamatan yang objektif dan dapat dilakukan verifikasi oleh siapapun dan dapat dibuktikan kebenarannya.

Sementara disisi yang lain ditemukan sejarah dengan mitos. Sejarah adalah peristiwa atau kejadian yang terjadi di masa lalu yang memuat tentang kejadian-kejadian penting,sedangkan legenda adalah cerita masa lampau yang diyakini benar-benar terjadi, tetapi tidak diketahui kebenaran dari cerita tersebut. Dan peristiwa tersebut lebih dikenal sebagai Cerita rakyat merupakan cerita yang berasal dari masyarakat dan berkembang dalam masyarakat pada masa lampau yang menjadi ciri khas disetiap bangsa yang mempunyai kultur budaya yang beraneka ragam yang mencakup kekayaan budaya dan sejarah yang dimiliki masing-masing bangsa.

Sehingga kalau dimensi defenisi maupun perspektif tersebut diangkat dalam ruang selamat tinggal mitos dan selamat datang realitas. Fakta dari semua kejadian dari peristiwa sosial, politik, ekonomi, budaya, lingkungan dan kemanusiaan pada akhirnya akan menjadi kilas balik dari sejarah bangsa ini menuju tatanan bangsa yang ber-peradaban lebih baik, baik itu pada skala nasional maupun dunia internasional. Pertarungan politik-kekuasaan sejak tahun 2019 beberapa bulan yang lalu adalah satu “kegenitan budaya politik” yang terus menggerus kehidupan kebangsaan kita, saling memfitnah, mencaci, hoax, kebencian, perilaku anarkhisme, serta saling membalas “sarkasme” dengan nada-nada kebencian dan ketidaksukaan, bahkan lebih fatalnya lagi agama ikut terseret dalam kubangan kekuasaan.

IMG 20191231 WA0007

Secara sadar, terkesan kita (civilization) berada dalam ruang yang penuh mitologi, sebab banyak fakta-fakta yang tak terungkap, yang seringkali hilang bahkan ditutupi, dan dibungkus dalam kemasan orasi dan pesan-pesan bermoral. Panggung dan mimbar menjadi hal yang penting untuk meng-injeksi pikiran publik, dengan nada, bahwa kita sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Misalnya demokrasi kita semakin menuruni anak tangga, tapi tak sedang jatuh (bisa dibilang mundur/turun). Peradaban literasi (lisan) kita seakan menutupi rongga harmonisasi, sebab kebenaran individu menjadi dominan inilah yang disebut isme-post-truth. Kondisi ekonomi yang mungkin bisa disebut mengalami stagnasi terbukti dengan hutang yang semakin membengkan dan harga dipasar untuk kebutuhan pokok semakin tinggi dan beberapa mengalami kelangkaan seperti minyak tanah dan gas elpiji tiga kilo gram. Belum lagi naiknya secara drastic dan dramatis BPJS. Kondisi KPK yang menuai polemik hingga saat ini, dan yang paling menghebohkan adalah Skandal Jiwasraya dengan kerugian negara yang cukup fantastic. Apakah ini kemudian bisa disebut mitos? Atau realitas?, kalau itu bisa dibilang “mitos” maka tak perlu perhatian khusus dari pemangku kebijakan, tetapi kalai itu fakta maka tentu ada proses dan perhatian dari pemerintah. memang saat ini negeri ini berada dalam ujian antara “Mitois dan Realitas”.

Oleh sebab itu, dalam pendekatan “spiral Kekrasan” yang ditulis oleh Dom Helder Camara, menguraikan pikiran yang demikian kritis terhadap problematik sosial yang ada, Dom, mengatakan bahwa kekerasan itu muncul akibat ketidak-terimaan terhadap fakta atau realitas. Hal ini kalau ditarik dalam pusaran fenomena sosial-politik Indonesia, maka sepertinya benar ucapan Dom Helder Camara. Demonstrasi, unjuk rasa, ungkapan satire, sarkas dan demagogi adalah bentuk perlawanan terhadap realitas. Fakta-fakta ketidak-adilan, ketidakjujuran dalam Pemilu, Korupsi ditubuh penyelenggara negara, saling meminta jatah kekuasaan pasca pemilu misalnya, semua itu adalah bentuk realitas yang dipertontonkan, dan nampak hal tersebut harus dipenuhi sebagai bentuk konsekuensi dari janji politik disaat kampanye.

Yang menyedihkan lagi ada tokoh agama yang secara terang-terangan mengatakan bahwa suara Islam dimanfaatkan, setelah itu dilupakan. Sakralisasi agama sebagai tonggak kebangsaan sedikit tergerus karena terjebak pada budaya politik yang “berjanji”, setidaknya kekuatan agama harus menagih pemerintahnya dengan memperlihatkan karua-karya terbaiknya untuk bangsa, bukan lalu agama menjadi “pengemis” untuk minta jatah atas janji politik yang ada.

Demokrasi itu adalah fakta, yang dilahirkan dari persepakatan ideologi terhadap konsep negara, tentu penyelenggaraannya juga harus sesuai dengan fakta bukan atas dasar mitologis atau mitos. Dalam artian bahwa fakta politik menjelaskan peristiwa-peristiwa politik yang terjadi, bukan menceritakan cerita sebagimana halnya mitos. Mungkin dalam hal ini penulis sedikit kritis, ketika menyebutkan bahwa peristiwa politik 2019 yang lalu adalah hanyalah “mitos”, kita belum sampai pada realitas. Seakan-akan kaya padahal miskin, seakan-akan maju padahal mundur itu adalah bagian cerita atau mitologis. Faktanya Indonesia adalah negara kaya, tetapi menjadi mitos karena rakyatnya miskin. Faktanya Indonesia adalah negara yang menganut sistem demokrasi dimana setiap individu memiliki kebebasan berpendapat, berekspresi dan berkumpul sebagaimana diatur dalam UUD negara, tetapi lagi-lagi banyak aktivis yang diciduk, dilaporkan, bahkan terjadi kriminalisasi lawan politik atau kelompok agama, maka jawabannya lagi-lagi mitos.

Dan sebagai warga negara tentu harapan kedepan adalah bagaimana negara ini keluar dari mitos dan menjemput realitas. Sehingga warga negara tidak hidup dalam bayang-bayang kemiskinan, ketidakadilan, dan ketidak-amanan. Sebab tujuan negara adalah menciptakan rasa aman bagi warganya, bukan memproduksi rasa takut. Kebahagiaan warga negara terletak pada fungsi negara menjaga warga negaranya, menjaga ideologi negaranya, serta mempertahankan wibawa pemimpinnya sebagai simbol negara.

Karena itu, kesan mitologi dimasa lalu setidaknya harus dijawab dengan hadirnya realitas, seperti Revolusi Industri 4,0 serta perubahan masyarakat secara sistemik. bahwa suatu bangsa yang besar adalah bangsa yang ditopang oleh budaya dan peradabannya. Maka ditahun 2020 adalah penuh tantangan sebab realitas demikian kompleksnya sehingga membutuhkan energi positif untuk menjawab setiap tantangan yang ada. Dengan jalan menciptakan “musim baru” dalam tata kelola negara dan pemerintahan demi kemaslahatan orang banyak. Tanpa semangat itu, tentu kita akan mengalami kemunduran secara sistematis. Realitas adalah tantangan, dan itu perlu untuk direspon dan dijawab sebagai takdir kemanusiaan.

Selamat tinggal mitos, selamat datang realitas.

Penulis, saifuddin al mughniy