Sore itu tak biasanya mendung di kotaku. Pelangi begitu malu mengintip dibalik tumpukan awan. Sesekali gemercik kilat menyambar, angin begitu kencang, dedaunan berterbangan. Air laut pun mulai menggelombang bergulung menuju tepian pantai terhempas dengan kencangnya.
Pandangan lelaki tua di seberang toko itu menyala-nyala, bagai menyembunyikan kemarahan dalam hatinya. Dalam hitungan detik ia pun berlalu seperti cahaya. Dalam hatinya bertumpuk beban hidup yang tak kuasa dipikulnya. Lalu, seorang anak muda menghampirinya untuk memberi sedekah ditangan yang gemetar itu.
Pandangannya tajam tak berkedip menahan airmatanya jatuh, namun bola matanya berkaca-kaca, tak kuasa berucap, bibirnya gemetar, pucat pasih, genggamam tangannya seperti mengikat seekor kuda ditampangan. Kuat dan penuh kasih sayang.
Waktu terus bergerak menuju titik senja, suara pengajian dari menara mesjid kian mendayu-dayu laksana merayu bidadari yang sementara mandi diujung pelangi. Sang tua itu, kini bergegas menuju teras meajid, melepas kasut (sendal jepit) yang bluur warnanya. Perlahan kakinya menuju ditempat wudhu. Raut wajahnya bercahaya, melangkah kedalam mesjid.
Rupanya sang tua itu adalah imam di mesjid itu, alfatihah yang dibacakan begitu syahdu dan penuh hikmat, jamaah seperti merasa sholat di mesjidil haran dengan Imam syekh Misyari al fareesa, yang tajwid dan lagunya membuat hanyut dalam ayat-ayat. Hampir semua jamaah meneteskan airmatanya dengan lantunan yang syahdu.
Aku pun tertegun dan berdoa, ya Allah sungguh kehormatan dan kemuliaan Engkau telah berikan kepadanya, hingga ayat-ayatMU ya Allah dibacakan dengan penuh penjiwaan yang amat dalam.
Hikmah terpenting yang dapat dipetik dari itu adalah, bahwa kebahagiaan dan ketenangan bukanlah pada materi dan kekuasaan, akan tetapi pencapaian kebahagiaan tertinggi terletak pada kerendahan dan kesyukuran kita kepada Allah SWT. ***
*catatan muhasabah*