Frase cermin, adalah satu benda yang menampilkan diri—dalam kaca. Terlihat seperti diri—sesempurna diri. Kata orang bijak, lihatlah dirimu dalam cermin. Sekali lagi itu kata orang bijak. Bercermin adalah suatu kondisi dimana orang ingin melihat dirinya “untuk menjadi”, menjadi apa, tergantung bagaimana seseorang berperilaku dalam cermin.
Proses menjadi tidaklah mudah, sebab harus diawali dari suatu perjalanan dan proses yang ada. Untuk menjadi CEO dari suatu perusahaan tentu seseorang memulainya dari tangga bawah. Begitu pula pemimpin, kalau seseorang ingin jadi pemimpin, maka tentu seseorang harus menikmati prosesnya.
Namun, keadaan yang kita impikan kadang menjadi lain—das sein und das sollen (kesenjangan antara harapan dan kenyataan). Dalam pengertian bahwa bercermin pada kaca yang retak—tentu akan menghasilkan bentuk yang tak sempurna sekalipun ber-eksistensi.
Eksistensi adalah bentuk “peng-adaan diri” demikian filsafat eksistensialisme mendakinya. Peng-adaa diri dengan keadaan diri adalah dua diksi yang berbeda. Peng-adaa diri lebih bersifat keberadaan manusia, sementara keadaan adalah lebih pada soal² situasional yang terkait masalah tempat dan ruang.
Sehingga pentingnya memaknai setiap frase dan dibalik semua realitas. Sama seperti menulis dipantai yang indah, tetapi dalam waktu yang singkat “,keberadaannya” hilang, karena sapuan ombak. Keindahan yang temporal.
Begitu pula berkaca dicermin yang retak, akan menjadikan eksistensi yang tidak utuh. Akan muncul ketidakseimbangan, agak sulit menemukan garis dialektisnya. Terbelah dan tak ber-eksistensi.
Maka, pemimpin setidaknya bercermin pada kaca yang utuh—agar mampu melihat utuhnya persoalan, dan jangan bercermin pada tembok yang tak memunculkan cahaya—sebab itu akan melahirkan kesia-siaan.
# CatatanRingan
3 Syawal 1441 H.
Masih diatas lautan.