“Kartini dalam Wajah Perempuan Masa Kini: Di Antara Rumah, Cinta, dan Dunia yang Berubah Cepat”

“Kartini hari ini tak selalu menulis surat. Tapi ia menulis hidupnya sendiri, dengan air mata, tawa, dan keberanian yang sering kali tanpa tepuk tangan.”

Siapa Kartini Hari Ini?

Jika dulu Kartini memperjuangkan agar perempuan bisa sekolah dan berpikir bebas, maka Kartini hari ini sedang berjuang agar dirinya tak hilang di antara tumpukan cucian, panasnya kompor didapur, daftar belanja, tekanan sosial media, dan berita-berita yang mengikis rasa aman perempuan.

Kartini hari ini adalah ibu yang bangun lebih pagi dari siapa pun di rumah, menyeduh teh untuk suami berangkat kerja, menyiapkan bekal dan sarapan untuk anak-anaknya, lalu buru-buru keaktivitas rutin ke pasar lalu dapur, dan kadang bersolek untuk mengikuti rapat lingkungan, kegiatan sekolah, atau mendampingi suami dalam acara formal.

Ia adalah perempuan yang mungkin tak bekerja di kantor, namun pikirannya bekerja tanpa henti. Ia adalah pendamping hidup, bukan sekadar pendamping kerja. Ia menopang peran sebagai istri, ibu, teman diskusi, penjaga keuangan keluarga, dan penenang saat badai datang.

Antara Citra dan Realita: Istri, Ibu, Perempuan
Banyak perempuan yang menjalani peran sebagai istri merasa berada di persimpangan: ingin tetap menjadi pendamping yang baik, tapi juga tak ingin kehilangan dirinya sendiri.

Di masa kini, peran istri bukan hanya menjadi “orang rumah” bagi suami. Dunia menuntut lebih:

• Harus mendukung suami saat lelah bekerja, meski dirinya sendiri pun tak sempat beristirahat.

• Harus menjadi ibu yang baik, dengan standar sosial media: anak harus sehat, pintar, sopan, aktif—semua harus “sempurna”.

• Harus tetap cantik dan bahagia, bahkan saat hatinya lelah dan pikirannya penuh. Guru pertama anak-anaknya, bahkan saat harus belajar ulang matematika SD demi membantu PR.

• Menjadi manajer rumah tangga, yang mengatur pengeluaran dengan cermat agar tetap cukup di tengah kenaikan harga, pandai berhemat sehingga dapat merubah remah nasi menjadi cemilan rengginang yang disimpan dikaleng biscuit Khong guan

• Menjadi relawan tanpa nama, yang membantu kegiatan sosial di lingkungan kantor meski tak pernah diliput media.

• Menjadi psikolog keluarga, yang menenangkan suami saat tekanan pekerjaan menumpuk.

• Dan menjadi pejuang diri, yang diam-diam menabung uang jajan untuk ikut kursus daring, menulis di blog, atau belajar membuat konten agar tetap produktif.

Dengan kata lain perempuan adalah menteri koordinator yang harus serba bisa didalam “negerinya” yang bernama “Rumah Tangga”.

Beban ini diperparah dengan berbagai isu sosial yang terus bermunculan:

• Isu perselingkuhan dan pelakor yang menjadi viral, membuat para istri sering kali hidup dalam rasa cemas dan persaingan tak sehat.

• Isu pelecehan seksual, baik di dunia nyata maupun digital, yang membuat perempuan harus ekstra hati-hati bahkan saat sekadar berjalan di jalan umum ,bersuara di media social, bahkan untuk berobat sekalipun.

• Tuntutan sosial yang tidak realistis, seolah perempuan harus selalu kuat, sabar, dan tak pernah marah—jika tidak, ia akan dicap “tidak bersyukur”.

Dalam situasi seperti ini, banyak perempuan merasa galau, bosan, bahkan tak berarti, terutama ketika pilihan hidupnya adalah menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya.

Identitas yang Tercecer di Sudut Waktu

Satu hal yang sering tak terlihat dari para ibu dan istri adalah identitas pribadinya. Di balik nama “Mama Dita” atau “Ibu Camat”, ada seorang perempuan yang dulu punya mimpi menjadi penulis, arsitek, penyiar, atau guru.

Namun karena satu dan lain hal—cinta, pengorbanan, komitmen—mimpi itu diletakkan sebentar. Lalu waktu berjalan cepat, dan mimpi itu seperti mengecil. Kadang nyaris tak terdengar.

Kartini masa kini sering kali merindukan dirinya sendiri, dan itu tidak egois. Itu manusiawi.

Meski begitu, satu hal yang tidak berubah: perempuan tak pernah berhenti belajar. Banyak ibu rumah tangga yang mulai ikut kursus online, pelatihan UMKM, belajar desain grafis, bikin konten, atau sekadar menulis di blog untuk menjaga kewarasan. Mereka sadar bahwa menjadi istri bukan berarti berhenti menjadi diri sendiri.

Kartini masa kini juga semakin sadar bahwa peran domestik pun adalah kekuatan. Mendidik anak bukan pekerjaan kecil. Menjaga rumah tangga tetap hangat adalah sebuah diplomasi jiwa. Dan mendampingi suami bukan berarti menghilang, tapi memilih untuk hadir dengan cinta dan ketangguhan.

Kartini Tak Lagi Tunggal, Tapi Kolektif

Hari ini, Kartini tak lagi satu nama. Ia adalah wajah jutaan perempuan Indonesia. Ia ada di balik seragam Dharma Wanita,dibalik seragam kereja Ibu PKK di dapur sempit rumah kontrakan, di ruang rapat sekolah, di pinggir tempat tidur anak yang demam, atau di bangku taman sambil menyusui anaknya. Ia adalah kita.

Perempuan yang berjuang untuk tetap kuat, tetap waras, tetap percaya bahwa hidupnya bermakna—meski tidak selalu diberi pujian.

Kartini dulu menulis:”Habis gelap terbitlah terang.”

Kartini masa kini menghidupi makna itu setiap hari—dengan tetap bergerak meski lelah, tetap hadir meski sunyi, dan tetap tersenyum meski tak selalu dimengerti.

Ia tidak menunggu pengakuan, karena ia tahu:
perjuangan perempuan tidak selalu bersuara lantang, tapi selalu berdampak panjang. Terus nyalakan lilin-lilin kecil. Karena kadang terang tak datang dari satu obor besar, tapi dari banyak cahaya kecil yang tak pernah padam.

Untukmu, Perempuan yang Diam-diam Luar Biasa
Jika hari ini kamu merasa lelah, ingatlah:
Menjadi istri dan ibu bukan peran kecil. Itu peran yang membangun fondasi negeri.

Negara ini berdiri kokoh karena ada perempuan yang tak berhenti berdoa, berusaha, dan bertahan—bahkan saat tak ada yang tahu.

Selamat Hari Kartini.
Untukmu Perempuan-perempuan hebat yang tetap kuat dan tetap percaya: kamu adalah cahaya, bukan bayangan..*)

*)Penulis adalah Nuraini, S.Pd
(Pengawas Dikdas Kabupaten Belitung)