KOKORO

Aku kadang kala merasa tidak begitu tertarik menulis artikel-artikel mengenai hukum. Sebab hukum itu normatif dan kaku serta legalistik, sehingga tak enak dibaca dan kurang disukai para pembaca.

Untuk itu, aku memilih-milih artikel atau tulisan tertentu di bidang hukum yang menarik untuk dikirim dan dipublikasikan kepada pembaca melalui media online.

Dalam kesempatan ini, aku akan menulis mengenai perbandingan budaya hukum antara bangsa Amerika dengan bangsa Jepang. Tulisan ini, aku beri judul dalam bahasa Jepang KOKORO, yang artinya adalah HATI. Begitu pula dengan hukum, tidak boleh lepas dari hati atau hati nurani.

Menurut aku, apa yang kita lakukan sepanjang hayat kita atau selama hidup dalam masyarakat, perbuatan kita janganlah lepas dari hati nurani. Dengan demikian, kemanapun kita pergi, kita akan selalu damai dan tenteram.

Untuk gampangnya, guna membedakan budaya hukum kedua negara itu, aku menjelaskan melalui dua peristiwa hukum yang sama, yang terjadi di kedua negara itu.

Setelah itu, biarkan pembaca sendiri yang menilai budaya ukum dari kedua negara itu.

Dalam buku Prof. Satjipto dikatakan. Pada 2 Agustus 1985, sebuah pesawat komersial Delta Airlines jatuh di Dallas, Amerika Serikat.

Segera setelah malapetaka itu, para pengacara dari kedua belah pihak, yakni dari pihak korban dan perusahaan penerbangan terjun ke lapangan dengan begitu cepat dan agresif. Laksana burung gagak berebut bangkai.

Suatu pertempuran sengit dan saling tuduh secara pahit dan immoralpun terjadi dan menjadi pemandangan di koran-koran tahun berikutnya.

Nah, sepuluh hari setelah malapetaka di Dallas itu, terjadi lagi pesawat komersial milik Jepang Airlines jatuh di pulau Honsu, Jepang. Tidak ada pengacara yang terjun ke lapangan. Yang ada hanya suasana duka yang mendalam. Laksana suasana seorang biksu Jepang sedang bersemedi.

Perusahaan Japan Airlines secara bertanggungjawab dan sepenuh hati, mengevakuasi dan menolong korban dan keluarganya.

Setelah semua selesai, Presiden Japan Air Lines menghadap deretan jenazah korban dan keluarganya, membungkuk dalam-dalam, meminta maaf dan lalu dia mengundurkan diri dari jabatannya.

Begitu pula anak-anak korban diberi bea siswa oleh perusahaan itu. Tak ada satupun sengketa hukum terjadi.

Jakarta, 18 September 2017
Kurnianto Purnama, SH.MH.