PEMBANGUNAN, & PEMIMPIN DUNIA KETIGA

Dalam satu artikel yang pernah menghentak dunia yang ditulis seorang futurolg asal Jepang yang bernama Kenechi Omhae dengan tesis “Kegagalan Bangsa-Bangsa”, tesis ini kemudian mengundang decat kagum beberapa pemikir ekonomi modern. Dalam tesis tersebut tertulis dengan gambling fenomena negara atau bangsa yang gagal, salah satu diantaranya adalam merosotnya kepercayaan publik terhadap penguasa, karena agenda-agenda perubahan yang mangkrak karena kepentingan kepitalisme. Tesis ini juga pada prinsipnya adalah menentang secara radikal konsep kapitalisme yang berkecendrungan ada dibalik kekuasaan, yang berakibat pemerintah cendrung diremote dan dikendalaikan siapa dibalik layar kekuasaan.

Jaques Attali dalam “MIlenium Ketiga”, dengan terang-terangan menyebutkan bahwa, kapitalisme akan menghadiahi bagi pemenang dengan kekuatan ekonomi dan politik. pikiran Alfin Toffler tersebut bukan tanpa alasan, sebab fenomena ekonomi dunia jatuh, bukan karena peperangan, invasi dan bencana, tetapi dibanyak negara kekuatan politik kapitalisme melalui jaringannya seperti World Bank, IMF dan beberapa lembaga pendonor lainnya ikut berperan dalam menetapkan dependensi ekonomi dibeberapa negara-negara koloninya. Dan ini sudah diperankan Dick Ciney sebagai penggerak MNC (Multi National Corporation) sebagai instrument dalam menggerakkan PWC (Post Washington Concencus) sebagai alat politik internasional.

Negara-negara berkembang atau biasa disebut sebagai negara dunia ketiga, juga tidak luput dari ancaman MNC dan lembaga donor lainnya. Sebagai aksi terselubung, seakan perang dan bencana adalaha takdir, tetapi sesungguhnya perang adalah bentuk invasi dan pencaplokan daerah-darah atau negara oleh negara lain. Kolonialisme, pada prinsipnya bukan hanya ada sejak penjajahan secara fisik, tetapi kolonialisme secara modern timbul dengan gaya membangun ketergantungan ekonomi politik terhadap negara kaya atau negara pendonor. Dalam teori kekuasaan bisa dibilang, kalau suatu negara mengalami dependensi (ketergantungan) dengan negara lain seperti hutang luar negeri, maka secara politis negara itu ada kecendrungan dikendalikan dalam proses pengambilan keputusan-keputusan politik baik itu yang bersifat internal maupun secara eksternal. Maka tidak heran dari perang teluk di tahun 1990-an adalah fenomena bagaimana kapitalisme di bawa kendalai Amerika Serikat dan sekutunya membom-bardir Iran, Iran dan Kuwait hanya karena kecurigaan bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal, padahal tuduhan itu hanya sebagai pembentukan opini didalam rangka menguasai lading minyak yang ada di timur tengah, termasuk di Kuwait.

Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki sumber daya alam yang melimpah sebagai cenral jalur dunia antara kekuatan di kutub timur dan dikutub barat. Bukan hanya perang epistemologis, tetapi perang dagang dan ekonomi membawa bangsa ini ke pusaran politik internasional. Freeport di Papua, Exon Mobil dan kawasan dunia pertambangan batu bara di Timur Indonesia yakni Kalimantan dan sekitarnya menjadi intipan para kelompok pendonor dunia untuk masuk menanamkan pengaruhnya secara politik di Indonesia, dengan jalan memberikan pinjaman lunak.

Fakta politik Indonesia sejak reformasi 98, hari demi hari terus membenahi diri dalam rangka menemukan eksistensi diri sebagai suatu bangsa. Proses politik pun memberikan pengajaran yang luar biasa dibangsa ini, sebab keterkungkungan selama kurang lebih 32 tahun lamanya di zaman Orde Baru, Reformasi 98 berhasil membawa keluar dari pakem otoritarianisme. Tetapi, bukan berarti saat ini bangsa ini sedang baik-baik saja, banyak hal yang masih perlu dibenahi sebagaimana agenda Reformasi 98 dua belas tahun yang lalu. Ekonomi, politik, sosial, budaya, lingkungan, hukum, pertahanan keamanan, HAM, isu gender, ketahanan pangan dan isu lainnya tentu menjadi perhatian bersama bagi pemerintah.

Otonomi Daerah sebagai jawaban sementara untuk menarik sentralisasi kekuasaan menjadi desentralisasi, walau kenyataannya hingga saat nyaris Otonomi Daerah hilang sebab banyak keweanangan daerah diambil pusat kembali, termasuk kewenangan BUpati diambil kembali oleh Gubernur. Apa karena seorang Bupati tak mampu melakukan lompatan berfikir visioner untuk menjawab tantangan yang dihadapi oleh pememrintah daerah, ataukah karena kewenangan Gubernur selama ini sangat minim, sehingga pengambil alihan kewenangan itu menjadi mutlak dilakukan.

Paradoksal politik kekuasaan memang seakan menemui “puncaknya”, terjadi ketegangan-ketegangan pikiran kadang muncul di beberapa daerah akibatnya proses pembangunan mengalami stagnasi. Pemahaman lokalitas pemerintahan setidaknya harus diretas mata rantainya sehingga ada ruang bagi pemerintah daerah untuk melakukan terobosan baru (inovasi) dan tanpa harus melabrak undang-undang yang ada. Sebab esensi otonomi daerah adalah kemandirian bagi pemerintah daerah dalam menetapkan regulasi sesuai potensi daerahnya.

Oleh sebab itu, maka berdasarkan pikiran besar Kenechi Omhae dan Jaques Attali tentang keberadaan kapitalisme dibalik kekuasaan minimal harus dihentikan dengan cara membangun kemandirian pemerintah daerah, dan partisipasi aktif dan warga negara dalam proses pembangunan, sebab kalau fenomena klasik diteruskan maka akan melahirkan “distrust politic” terhadap pemerintah. dan negara atau daerah tidak boleh terjebak pada scenario global kapitalisme untuk mengendalikan kekuasaan. Karena kekuasaan itu adalah produksi dari “The political will” dari warga negaranya melalui kontrol politiknya.

Karena itu dunia mengalami perkembangan yang cukup scepat seiring dengan tuntutan kemajuan tehnologi dan informasi. Pasar dunia kini sudah dikendalikan oleh digitalisasi market, sampai kepada dunia penerbangan. Ini membuktikan bahwa tantagan dunia kedepan adalah bagaimana menghadapi situasi ekonomi dunia dan perkembangan politik yang semakin “mengikis batas negara”. Perang (mungkin) sulit dihindari mengingat dibeberapa negara telah mengalami krisis akibat ledakan jumlah penduduk, dimana terjadi disparitas sosial-ekonomi dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Krisis dunia semakin menghantui ummat manusia, belum lagi terjadinya bencana, kelaparan, tingkat kesehatan yang menurun, gizi buruk, dan penyakit sosial lainnya seakan menjadi intaian dunia dan negara-negara berkembang saat ini.

Indonesia, sebagai negara kepulauan yang memiliki sumber daya alam yang melimpah bukan tidak mungkin akan menjadi “sengketa dunia” untuk membangun pengaruh dan ketergantungan secara ekonomi dan politik. terbukti saat ini blok Natuna semakin memanas akibat Tiongkok mencoba mencaplok daerah territorial Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) di kawasan tersebut. Itu berarti, bahwa kolonialisme selalu ada bagi negara yang lemah. Dan secara konstitusi Tiongkok telah melanggar kedaulatan NKRI sebagai negara yang berdaulat.

Turki lewat Presdiennya Erdogan, tidak melihat pertemanan ketika wilayah negaranya dilanggar oleh negara lain. Pesawat Rusi pun pernah jatuh ditembak oleh tentara Turki, sekalipun Rusia adalah teman baik Turki, dan Turki begitu kuat dengan eksistensi Rusia, tetapi ketika kedaulatan negaranya di ganggu maka Erdogan tak ada kompromi. Erdogan lakukan itu karena keberpihakan rakyatnya begitu kuat, ia mendapat legitimasi kuat dari warga negaranya. Filososfisnya, adalah bahwa kekuatan dan keberanian pemimpin dalam mengambil sikap politik itu tergantung seberapa kuat legitimasi yang diperoleh dari rakyat.

Sehingga kita punya harapan besar pemimpin kita Presiden Jokowi dapat menjawab janji politiknya tentang Natuna sebagai harga mati bagi NKRI. Sebab bagaimana pun Indonesia adalah negara Dunia Ketiga (Negara Berkembang) yang hingga saat ini terus melakukan upaya menuju kemajuan sebagai suatu bangsa yang berdaulat. *Penulis, saifuddin al mughniy