MEMBALONG – Di sebuah sudut damai di Desa Tanjung Rusa, Kecamatan Membalong, Kamis (22/5), suasana terasa berbeda. Bukan karena tamu-tamu penting yang hadir, bukan pula karena kemeriahan acara seremonial—melainkan karena getaran kebersamaan yang begitu hangat dalam pelaksanaan tradisi sakral Maras Taun di kediaman Dukun Rahim.
Tradisi yang telah diwariskan secara turun-temurun ini kembali hidup dengan semangat yang tak pernah pudar. Di tengah arus modernisasi dan digitalisasi, masyarakat Melayu Belitung membuktikan bahwa akar adat, budaya mereka tetap kuat, kokoh, dan terus tumbuh.
Tak kurang dari Wakil Bupati Belitung Syamsir, Ketua LAM Belitung Achmad Hamzah, Ketua Forum Kedukunan Adat Belitung Mukti Maharif, Kabid Pembinaan Budaya pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Belitung Fithrorori, hingga perwakilan Dinas Pariwisata, Hatta Kabong, Kades Tanjung Rusa Zuhaidi,tokoh agama dan masyarakat, turut menyatu dalam suasana penuh hikmat dan rasa syukur tersebut.
Membingkai Tradisi dalam Konteks Modern
Ketua LAM Belitung, Achmad Hamzah, dalam sambutannya menyampaikan pesan mendalam yang menggugah. Bagi Hamzah, Maras Taun bukan hanya ritual adat tahunan—melainkan kompas budaya yang menuntun masyarakat untuk selalu ingat pada akar, budaya sekaligus membuka peluang ekonomi dari potensi lokal.
“Budaya adalah kekuatan ekonomi. Bila kita kemas dengan baik, adat dan kuliner lokal bisa menjadi magnet wisata. Apalagi Belitung kini sudah jadi destinasi wisata. Ini kesempatan besar,” ujarnya.
Pesan ini tidak berhenti di pelestarian budaya. Hamzah juga mengingatkan pentingnya menjaga kelestarian alam—mulai dari sungai, hutan, hingga laut yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat pulau.
“Kalau lingkungan rusak, kita juga yang akan merasakan dampaknya. Lihat saja banjir dan bencana di tempat lain. Kita tak ingin itu terjadi di tanah yang kita cintai ini,” tambahnya.
Simbol Kebersamaan dalam Hidangan Tradisional
Sebagai penutup, acara Maras Taun ditutup dengan ritual makan lepat dan bedulang bersama—simbol sederhana namun sarat makna. Duduk bersila, berbagi hidangan, dan saling mendoakan menjadi potret harmoni khas Melayu Belitung yang tak ternilai.
Di tengah suasana guyub itu, tak ada sekat antara pemimpin dan rakyat, tua dan muda, kaya dan sederhana. Semua larut dalam satu rasa: syukur kepada Sang Pencipta atas rezeki bumi dan laut yang tak henti mengalir.
Warisan yang Terus Bernapas
Maras Taun adalah pengingat bahwa budaya bukan barang museum. Ia hidup, tumbuh, dan terus bernapas dalam kehidupan masyarakat. Dari rumah Dukun Rahim, pesan itu mengalir deras: bahwa identitas adalah kekuatan, dan kebersamaan adalah fondasinya.
Dan selama masyarakat Belitung masih duduk bersama dalam satu dulang, masih menyebut nama leluhur dengan hormat, dan masih menanamkan cinta alam pada anak-anak mereka, maka Maras Taun akan terus hidup—tak hanya di naskah sejarah, tapi di hati generasi mendatang.*












