Pada tanggal 9 Februari 1950 seorang senator Amerika Serikat bernama Wisconsin Joseph McCarthy dengan pidato terkenal di depan Ohio Country Republican Women’s Club’ di Wheeling, West Virginia. Dengan semangat berkoar² ia mendeskripsikan sekaligus melakukan kritik terhadap implementasi demokrasi dihampir seluruh negara bagian Amerika.
Namun menjelang pemilihan presiden tahun 1952 kontraksi politik gedung putih mengalami distorsi yang begitu kuat—asumsinya adalah antikomunisme digulirkan diarena kontekstasi politik. Padahal dibanyak negara bagian kasus politik yang tidak mencerminkan nilai demokrasi terlihat dengan jelas. Violence demokrasi (Paul Trenor) ; mencatat berbagai pelanggaran pemilu termasuk isu sara, ras, kaum perempuan, dan kriminalisasi.
Keadaan itu berlangsung cukup lama, seiring dengan letupan diberbagai negara Islam yang berteriak anti yahudi dan kapitalisme. Kritik ini kemudian memancing para futurolog dunia membangun wacana demi menyelamatkan demokrasi dipikiran bangsa Amerika, bahwa demokrasi baik² saja.
Era 80-an memasuki abad millenium (Baca : Alfin Toffler) bahwa kapitalisme akan menghadiahi para pemenang dalam kontekstasi politik bagaimana pun caranya. Skenario—La Prince ala Nicolo Machievelli kembali dipraktekkan demi ambigu kekuasaan.
So, bagaimana dengan negara berkembang?,…tak cukup hanya menawarkan kapitalisme dengan berbagai pernak perniknya, tetapi lebih dari itu bahwa ini “Era Collaps” kata Jarec Diamond, dimana “kebuasan” akan membunuh semua bentuk perlawanan termasuk dalam arena politik. Coba lihat Beirut, Lebanon, Afghanistan dan negeri² lainnya, itu adalah ekses dari seni perang luluh lantah.
Demokrasi di dunia ketiga atau negara berkembang cukup repot menerima demokrasi, sebab berada diantara dua kutub antara timur dengan barat. Tetapi kenyataan itu tak.membuatnya bertahan untuk tidak menerima demokrasi sebagai pilihan bernegara.
Pasca reformasi Indonesia 1998 adalah ruang keterbukaan karena the pressure politik—merubah semua struktur kekuasaan menjadi desentralistik. Hal ini dilakukan untuk mengembalikan Marwah demokrasi yang sesungguhnya.
Tetapi dalam perkembangannya—-mengalami distorsi, sebab kekuasaan telah dikuasai oleh “kaum berpunya” bahasa sederhananya kelompok oligharkis. Politik transaksional sulit untuk dihindari, mahar politik begitu besar, para dianstokrat mulai turun tangan untuk memelihara “keluarga dan kekuasaan” disemua level termasuk di hajatan pilkada di daerah.
Dicatatan lain, demokrasi bisa mati karena kudeta, atau mati pelan², kematian itu bisa disadari ketika terjadi selangkah demi selangkah demi terpilihnya pemimpin yang otoriter, disalahgunakannya kekuasaan, dan penindasan total terhadap oposisi. Dan fenomena ini sedang melanda seluruh dunia dan kita semua berada di dalam pusarannya.
Antikritik sepertinya bentuk mengamini model oligharkis saat ini. Mereka punya nama besar, jaringan, serta ambigu dinastokrasi yang kuat—ini tak bisa disangkali mengingat kapitalisme begitu kuat mendrive kekuasaan demi kepentingan politik dan bisnis.
Akhirnya, kita akan mempersiapkan keranda untuk mengusung kematian demokrasi dipemakaman terakhirnya.***
# seperti meminta seekor ikan untuk menjelaskan kepada kita bagaimana caranya hidup dalam air












