“Berhentinya pemimpin berfikir, sekaligus berhentinya denyut nadi keadilan”
Mungkin kata yang mendahului politik diatas tidak familiar dilingkungan kita. Dalam teks klasik eudemonisme berasal dari kata eudemonia yang berarti bahagia. Nah, kalau diartikan bahagia terus apa urgensinya dengan kata politik. Filsuf sekelas Aristoteles memaknai “kebahagiaan” itu adalah bukan pada perburuan kenikmatan materi, tetapi ada pada kebahagiaan berpolitik dan berfilsafat.
Dalam sejarah pengetahuan, dimana pada pohon filsafat ilmu pengetahuan social sains pertama melahirkan politik, sehingga ilmu politik dinobatkan sebagai ratu dari ilmu sosial. Pada fase empirisme mungkin kita bisa tak bersepakat, tetapi itulah kenyataan yang berkembang dalam masyarakat kita. Kekuasaan menjadi magnet sekaligus atmosfer bergeraknya naluri berdemokrasi yang baik.
Francis Fukuyama dalam tesisnya The End Of History, secara gamblang menyatakan bahwa kehidupan masyarakat demokratis adalah sudah menjadi persoalan sejagat, sebab dalam dimensi politik dan demokrasi sebagai dua sumber bernegara, disatu pihak politik yg mengajarkan bangunan relasi sosial sementara demokrasi dipihak yg lain mengedepankan ajaran humanisasi, sehingga dibutuhkan sebuah lompatan berfikir yang lebih revolusioner utk mewujudkan tata nilai dari sub kultur tersebut.
faktanya adalah tidak sedikit orang mau merebut kekuasaan (teori kekuasaan), tp mereka tdk memahami esensi politik baik ia sebagai sains maupun ia sebagai seni dan lain sebagainya . Ini karena pergeseran budaya yg menyebabkan runtuhnya ajaran politik dan demokrasi sebagai bagian terpenting dari sejarah kekuasaan.
Sebagian orang memahami demokrasi hanya sebatas ruang ekspektasi, narasi, dan bahkan demokrasi berkecendrungan diasumsikan dengan uang. Padahal demokrasi muncul tidak diawali oleh faktor materi namun di ilhami oleh konsep-konsep humanistik sebagai produk ajarannya. nah, klu begini konstruknya maka terlalu murah harga sebuah demokrasi, dan hasilnya pun akan memproduk hasil yang murahan. Padahal substansi dan esensi demokrasi mengandung nilai kerakyatan dan kedaulatan.
Maka jawabannya adalah karena sebagian orang mengedepankan Logika kekuasaan daripada Kekuasaan Logika. Sebuah kecelakaan berfikir sekaligus kedangkalan Epistemologi, dan lemahnya narasi atas fakta-fakta sosial. Sebab ini begitu penting didampingkan dengan isu demokrasi.
Sehingga eudemonisme dalam politik haruslah dipahami sebagai puncak kebahagiaan dari perwujudan pengetahuan dalam memainkan politik sebagai “seni” bukan semata memburu tanda kehormatan dalam framming kekuasaan. Makna kebahagiaan itu setidaknya memberi arti secara luas bukan kebahagiaan materi bagi penguasa, tetapi juga kebahagiaan rakyat atas kedamaian. Itulah esensi kebahagiaan.**
Bumi manusia, 10.01.22