Imlek merupakan satu dari sekian perayaan besar yang berusia sangat tua yang pernah ada di dunia. Tidak banyak yang masih bertahan hingga saat ini, sebut saja perayaan Waisak yang sudah diperingati selama 2566 tahun, Natal yang sudah berusia 2000an tahun, Idul Fitri yang sudah lebih dari 1400 tahun, dan lain sebagainya. Dan kalau dihitung sejak pertama kali dinyatakan resmi sebagai pesta rakyat yang menandakan datangnya musim semi, Imlek sudah diperingati sebanyak 2574 kali. Ini juga menunjukkan betapa tuanya usia perayaan Imlek, karena dalam setahun hanya terjadi sekali musim semi.
Imlek tidak saja bermakna pesta dengan semarak hiasan pernak-pernik, petasan, tarian Barongsai/Singa dan tarian Liong/Naga. Meskipun dalam perkembangannya sampai sekarang ini ritual itulah yang selalu tampak menonjol. Kalau kita melihat sejenak ke dalam literatur-literatur lama yang ditulis oleh sarjana-sarjana Tiongkok kuno, ada makna filosofis mendalam yang terkandung didalamnya. Tentu saja untaian kata mutiara terpendam ini bukan hanya penghias lembaran kertas. Bagi orang yang punya rasa ingin tahu, tulisan-tulisan itu merupakan peninggalan yang sangat berharga sebagai sumber pengetahuan untuk menggambarkan sejarah masa silam. Orang bijaksana adalah mereka yang banyak belajar dari pengalaman masa lalu.
Tiongkok atau China memiliki empat musim, yaitu musim Semi (Chun), musim Panas (He), musim Gugur (Chiu), dan musim Dingin (Tang). Setelah musim panas yang lembab, musim gugur yang ditandai dengan banyak angin, dan musim dingin (setiap musim dingin China bagian tengah dan utara tertutup salju), musim semi yang hangat dan sejuk adalah yang paling dinantikan. Selain petani bisa memulai membajak sawah dan ladang, burung-burung bernyanyi, pohon-pohon bertunas dan bunga-bunga bermekaran. Jadi dapat dibayangkan betapa gembiranya mereka menyambut kedatangan musim semi yang menyenangkan ini. Dan karena peristiwa ini hanya terjadi setahun sekali maka perayaan musim semi juga dijadikan sebagai penanda pergantian tahun. Oleh karena itu Imlek disebut juga sebagai Perayaan Tahun Baru China.
Pergantian musim itu sendiri juga memiliki makna filosofis, yaitu proses kehidupan yang selalu berkelanjutan. Musim Semi menandakan kelahiran, musim Panas menandakan tumbuh menjadi dewasa, musim Gugur berarti usia lanjut, dan musim Dingin berarti kematian. Setelah musim dingin selesai, datanglah musim semi. Yang dalam literatur Buddhis dijelaskan sebagai setelah kematian semua proses tidaklah berhenti. Kehidupan terus berkelanjutan dengan kelahiran yang baru pada alam-alam yang lain. Agama yang berasal dari India ini adalah agama yang sudah mengakar sangat kuat di dalam nafas filosofi dan kebudayaan Tiongkok. Sejak 1900 tahun yang lampau, akulturasi budaya sudah terjadi disana.
Dalam perkembangannya, karena faktor akulturasi budaya itu juga, terdapat banyak perubahan dalam budaya perayaan Imlek sebagai tahun baru. Perubahan tersebut adalah pada kandungan nilai religinya. Lihat saja, jauh-jauh hari sebelum hari H yang hingar-bingar dengan pesta, orang sudah sibuk dengan membuat aneka persembahan kepada dewa-dewa, kepada leluhur, mendatangi orang bijak yang berpengaruh dalam agama dan masyarakat dan lain sebagainya. Bahkan setelah hari H hingga bulan purnama (15 hari setelah imlek-dikenal juga sebagai Cap Go Meh), orang kerap mengikuti kegiatan upacara ritual yang diselenggarakan di kelenteng-kelenteng dan wihara. Berharap bahwa pada masa setahun ke depan mereka akan mendapatkan berkah perlindungan dan aneka kebahagiaan, kegiatan ini sudah dianggap sebagai wajib dilaksanakan.
Dengan membagikan Angpao (kertas merah), mereka belajar untuk tidak egois, menjalin tali kasih dan berbagi kebahagiaan. Dengan melepaskan satwa ke habitatnya, mereka belajar untuk mengembangkan belas kasih dan peduli dengan lingkungan. Dengan berkumpul sejak sehari sebelum hari H, mereka belajar tentang kebersamaan, memaafkan, kerendahan hati, dan toleransi. Dengan membersihkan altar leluhur mereka belajar untuk tidak melupakan jasa dan budi baik orang lain. Dengan menghias dan memberikan aneka persembahan di altar Buddha dan para Dewa mereka belajar untuk selalu ingat dengan pengembangan batin pada kualitas-kualitas positif. Dan masih banyak yang lain, tetek bengek yang terlalu panjang untuk diuraikan. Dari nilai-nilai inilah rasanya Imlek sarat bermuatan religius.
Sebagai bangsa Indonesia yang tentunya juga pernah berkaitan dengan pandangan Buddhistik sejak lebih dari 1500 tahun yang lampau, kita juga menyimpan banyak filosofi-filosofi religius di dalam peringatan dan perayaan tradisi kita. Mari kita gali bersama.
Selamat Tahun Baru Imlek 2574/ 2023, semoga hidup kita sejahtera dan bahagia. Semoga harapan-harapan baiknya tercapai, dan terus ikut ambil bagian dalam menciptakan kebahagiaan bagi yang lain. Salam..*)
*)Penulis adalah Pdt. Budi Dharmapanno/ Ketua PERMABUDHI KAB. BELITUNG