Kita mungkin seringkali membaca atau mengingat para guru² kita mengajarkan kita tentang peribahasa, sastra, prosa dan puisi. Keempat diktum ini begitu kuat dalam ingatan akan makna yang terkandung didalamnya. Bahasa semiotik membuat kita terus menelusuri apa sesungguhnya dibalik kata dan kalimat dalam sastra itu.
Katakanlah Albert Campus yang dikenal sebagai dedengkot filsuf pemberontak, ia selalu menggambarkan bahwa “panggung seni” adalah pemberontakan. Sastra, puisi, musikalisasi, drama adalah tontonan sekaligus tuntutan bagi situasi sosial yang ada. Kritik itu dimulai di panggung pementasan. Demikian Albert camus memberikan testimoninya.
Namun, sangat jauh berbeda dengan prosawan seperti Monsieur Joudian Moliere, sepanjang hidupnya ia membacakan prosa²nya, tetapi ia sama sekali tak pernah tau dan mengenali apa ayang dibacakannya. Tetapi kalimat² putus yang diucapkannya justru para pembacanya menikmati sebagai buah keabadian.
Nah bersoal keabadian,…. pertanyaan dasar adalah adakah yang abadi dan memiliki keabadian?, Pertanyaan yang sentimentil tetapi butuh jawaban transendentil. Abadi adalah sesuatu yang tak pernah mati, lumpuh, hilang, dan sebagainya. Abadi memiliki personifikasi selalu ada dan tak pernah berakhir. Lalu, alam, manusia, tumbuhan dan hewan apakah abadi?, Ternyata eksistensi alam dan segala isinya—ternyata tak adakah yang abadi (kekal) semua berakhir pada masanya. So, keabadian—ini adalah gerak atau proses “,penujuan” (filsafat keabadian), yakni proses tempat atau alam (syurgawi) yang tak bermula dan tak berakhir. Yakni adanya proses keabadian menuju kekekalan untuk selamanya.
Dalam Islam, dalam surah fussilat, disebutkan waman ahsanu qaulan mim man daa’,Iallah—adakah kalimat yang lebih indah dari sebutan nama Allah yakni Lailaha Illallah—kalimat ini begitu pendek, singkat dan memiliki arti begitu gampang (Tiada Tuhan selain Allah).
Namun kalimat pendek ini selalu di ucapkan dengan putus², baik dalam ibadah maupun dalam ucapan terakhir (sakratul maut). Mungkin kita membaca puisi dan prosa sontak mendapat apresiasi dan tepuk tangan yang meriah dari pendengarnya, tetapi kalimat Lailaha Illallah adalah ucapan yang sangat ditunggu Allah saat kita menghadapnya. Kenapa?….karena kalimat inilah yang membuat Allah tersenyum.
Semoga, kalimat ini menjadi ingatan kita, hari ini, esok dan akan datang dalam menemuiNya.
Salam takjim
#catatan_muhasabah.