Suatu pagi di lego² (beranda) rumah kayu, seorang ibu menyuguhkan secangkir teh buat sang suami yang baru saja pulang dari melaut. Tangkapan ikannya pun cukup dengan makan hari itu. Keringat Sang ayah masih meleleh disekujur tubuhnya, tangannya yang penuh goresan tali pancingan.
Sang ibu lalu bertanya, apakah bapak tidak lelah?, Kalau lelah silahkan istirahat aja dulu ungkap sang istri. Lalu, sang suami berkata, Alhamdulillah Bu aku gak merasa capek dan lelah, sebab semua ini aku begitu berjuang dan ikhlas melakukannya demi anak kita yang sebentar lagi akan masuk pesantren.
Mendengar ucapan itu, sang ibu pun terasa dadanya sesak mendengar ucapan sang suami. Tapi pak, kata istrinya—apa perlu anak kita mondok? Sementara kehidupan kita hanya pas-pasan pak,…aku takut kalau anak kita tidak kuat menerima beban hidup itu.
Sang suami pun lalu berdiri dan melangkah tiga hasta, lalu ia tunjuk lautan yang kebetulan tidak jauh dari rumahnya. Ibu, lihatlah lautan yang demikian luas itu, tidak mungkin Allah menciptakannya tanpa manfaat bagi manusia. Dan kita telah menekuni hidup sebagai nelayan, berpuluh² tahun—namun Allah tidak pernah lelah memberi rezeki yang kita butuhkan,…sebab Allah Maha Tahu tentang kebutuhan hambaNya, bukan keinginan hambaNya.
Dan kita hanya punya anak satu²nya, rezeki anak kita tentu sudah ditentukan oleh Allah tanpa harus tertukar dengan orang lain. Aku selalu yakin bu, setiap ikhtiar yang tulus akan menuai kebaikan bu….sang ibu pun hanya terdiam mendengar penjelasan suaminya yang begitu dalam.
Iya pak,…aku bangga punya suami seperti bapak, berjuang dengan ketulusan demi buah hati kita adalah jalan mulia pak.
Assalamu Alaikum, terdengar ucapan dari belakang, ternyata sang anak tiba² muncul dan mencium tangan kedua orangtuanya. Ayah, ibu,…aku tahu ayah dan ibu telah berfikir tentang aku?….terima kasih ibu, ayah yang telah melahirkan ku dan membesarkanku dengan ikhlas. Dan bagiku sulit aku untuk membalasnya. Maka ayah, ibu—ijinkan aku pergi untuk mondok sebagai jalan untuk membalas semua kebaikan ibu dan ayah…tentu bukan dengan cara membayar dengan harta dan kekuasaan….tetapi aku akan berikhtiar untuk membayarnya dengan ilmu dan bacaan Qur’an di pesantren kelak ibu, ayah.
Aku merindukan ayah dan ibu memakai mahkota kelak di syurga. Ijinkan aku pergi ibu, ayah….ini jalan tauhid ibu, ayah. Karena hampir setiap malamku meneteskan airmata mengingat jerih payah ayah dan ibu—aku takut kalau hingga akhir hayatku nanti aku tak mampu memberikan kebahagiaan buat ibu dan ayah—lalu sang ayah dan ibu pun memeluknya anaknya dengan derai airmata.
Dengan doa sang ibu terucap ditelinga sang anak—ya Allah aku butuh mahkota terindah itu disyurga dari anakku,….dan terima kasih yan Allah atas rezeki selama ini engkau berikan kepada kami.
Dengan demikian kita dapat memetik hikmah didalamnya—bahwa Allah akan memberikan kebahagiaan terindah bagi mereka yang dikehendaki dari ikhtiarnya.
Semoga kita dapat mewujudkan kebahagiaan hakiki dalam.kehidupan kita—esok dan akan datang.
# CatatanRingan
Membaca sejarah adalah membaca ingatan.