Konflik Tanah di Labun Bilik, Tanjung Batu Lubang, Desa Padang Kandis, Kecamatan Membalong Berikut Solusi dan Penyelesaiannya

Jika fakta-fakta tersebut memang benar adanya seperti itu, menurut saya ada baiknya BPN mengambil tindakan tegas dalam bentuk menerbitkan keputusan pembatalan SK HGB tersebut, setelah mendalaminya dengan cermat, teliti, dan hati-hati fakta-fakta itu.

Saya mendengar adanya kasus tanah di Labun Bilik, Tanjung Batu Lubang, Desa Padang Kandis, Kecamatan Membalong, (dulunya sebelum pemekaran wilayah, sesuai surat segel, kawasan ini masuk di wilayah Kelurahan Membalong, Kecamatan Membalong), di mana terjadi peralihan hak atas tanah yang patut diduga terdapat cacat yuridis dan administratif.

Tanah seluas 5 Ha lebih yang dimiliki oleh 2 (dua) orang ahli waris sebetulnya telah dijual kepada seseorang, sebut saja namanya si “A”. Tetapi pada waktu tanah tersebut hendak disertifikatkan, informasi dari Kantor Pertanahan Kabupaten Belitung menyebutkan bahwa tanah tersebut telah disertifikatkan atas nama korporasi tertentu.

Setelah ditelusuri dengan mencermati SK HGB atas nama korporasi tersebut, ternyata SK HGB tersebut diterbitkan oleh Kepala Kanwil BPN Provinsi Kepulauan Bangka Belitung atas nama Kepala BPN Pusat.

Penerbitan SK HGB tersebut antara lain mendasarkan pada 3 (tiga) buah Surat Keterangan Kepemilikan Tanah yang dibuat oleh 3 (tiga) orang berbeda, yang kemudian oleh 3 (tiga) orang tersebut dialihkan kepada orang yang lain lagi, sebut saja namanya si “B”, dan akhirnya oleh si “B” kemudian dialihkan kepada Korporasi tersebut.

Belakangan baru diketahui bahwa ternyata 2 (dua) orang ahli waris menyatakan tidak pernah menjual tanah warisan tersebut kepada siapapun kecuali kepada si A, dan 3 (tiga) orang yang membuat Surat Keterangan Kepemilikan Tanah juga menyatakan bahwa tidak pernah merasa memiliki tanah dan tidak pernah menjual tanah tersebut. Saat ini terdengar kabar bahwa tanah tersebut sudah dialihkan kepada korporasi lainnya oleh korporasi pertama.

 

PERKEMBANGAN PENANGANAN

Terhadap permasalahan di atas, ahli waris telah mengadukan permasalahannya kepada BPN Pusat, dan BPN Pusat kabarnya telah memerintahkan Kepala Kantor BPN Belitung untuk menyelesaikan permasalahan tanah itu melalui mediasi. Mediasi telah dilaksanakan sebanyak 3 (tiga) kali pertemuan, dan di setiap mediasi, korporasi pertama dan korporasi kedua maupun yang ketiga tidak pernah hadir dalam sidang mediasi.

Berdasarkan informasi, sampai saat ini belum ada keputusan hasil mediasi dari Kantor BPN Belitung, Kanwil BPN Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, ataupun BPN Pusat.

 

KOMENTAR DARI ASPEK HUKUM

Kasus pertanahan seperti di atas menurut Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan (Permen ATR/Ka BPN No. 21/2020), termasuk jenis Sengketa Pertanahan, yaitu perselisihan tanah antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas.

Selain sengketa pertanahan, dalam Permen ATR/Ka BPN No. 21/2020 diatur juga penyelesaian konflik Pertanahan dan Perkara Pertanahan.

Dalam Permen ATR/Ka BPN No. 21/2020 diatur mengenai penyelesaian sengketa melalui mediasi, setelah terlebih dahulu dilakukan pengkajian, penelitian, dan gelar kasus di lingkungan BPN sendiri.

Mediasi pada prinsipnya wajib dihadiri oleh para pihak. Jika terkait dengan sengketa hak atas tanah, dari hasil mediasi yang dilakukan, BPN dapat membuat keputusan berupa membatalkan hak atas tanah/sertifikat hak atas tanah, terjadi perdamaian di antara para pihak, atau BPN dapat menolak permohonan.

Pembatalan hak atas tanah dapat dilakukan oleh BPN apabila ditemukan adanya cacat administrasi dan/atau cacat yuridis dalam penerbitan keputusan hak atas tanah, atau pembatalan itu dapat juga sebagai pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, jika terhadap sengketa tersebut dibawa ke ranah hukum.

Terkait dengan sengketa Pertanahan di Labun Bilik, Tanjung Batu Lubang, Desa Padang Kandis, Kecamatan Membalong, sebagaimana diuraikan di atas, jika memang fakta-fakta yang terjadi adalah seperti itu, maka seharusnya BPN membatalkan SK HGB tersebut untuk kemudian dikembalikan kepada penguasaan ahli waris.

Jika faktanya memang benar demikian, itu merupakan fakta hukum yang kuat yang menunjukkan bahwa tidak pernah terjadi peralihan hak atas tanah itu kepada pihak lain selain kepada orang yang namanya Si “A”.

Dengan demikian, Surat Keterangan Kepemilikan Tanah yang dibuat oleh 3 (tiga) orang berbeda, pengalihan tanah dari 3 (tiga) orang kepada si “B”, pengalihan tanah dari si “B” kepada Korporasi pertama, dan penerbitan produk hokum SK HGB atas nama perseroan pertama, patut diduga mengandung cacat yuridis dan administrasi. Untuk kepentingan itu, BPN perlu mendalami fakta-fakta tersebut dengan cermat, teliti, dan hati-hati.

Jika nantinya SK HGB tersebut dibatalkan, maka yang menerbitkan keputusan pembatalan adalah Kepala BPN Pusat, karena SK HGB tersebut diterbitkan oleh Kepala Kanwil BPN Provinsi Kepulauan Bangka Belitung atas nama Kepala BPN Pusat. Hal ini diatur dalam Pasal 30 Permen ATR/Ka BPN No. 21/2020.

Kepada ahli waris dapat saja menempuh penyelesaian secara hukum baik secara pidana dengan melaporkan pelaku pemalsuan atau orang yang menggunakan dokumen palsu, ataupun secara perdata dengan cara menggugat hak kepemilikan atas tanah tersebut ke pengadilan umum.

Jika fakta-fakta tersebut memang benar adanya seperti itu, menurut saya ada baiknya BPN mengambil tindakan tegas dalam bentuk menerbitkan keputusan pembatalan SK HGB tersebut, setelah mendalaminya dengan cermat, teliti, dan hati-hati fakta-fakta itu.

BPN juga harus hati-hati dalam menggunakan Pasal 32 ayat (1) Permen ATR/Ka BPN No. 21/2020 dalam membuat keputusan. Ketepatan keputusan BPN akan memberikan rasa keadilan lebih cepat kepada masyarakat, khususnya pihak yang dirugikan hak atas tanahnya. *)

*) Penulis adalah Dr. Rakhmat Bowo Suharto, S.H.M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang)