Mungkin inilah adalah jawaban terhadap pernyataan sebagaian kita bahwa demokrasi itu mahal. Kenapa ? sebab dalam setiap event politik baik dilevel lokal maupun nasional gejala perusakan demokrasi kian massif dan Nampak. Korupsi, proses penjaringan dalam kontekstasi politik cendrung diwarnai tawar-menawar politik yang berujung pada “mahar politik” yang demikian besar. Tak mengherankan kalau kemudian sebagian opartai politik tak lagi mampu menjaga etika dalam mengemban amanah kepartaian. Pragmatism kian muncul diera demokrasi yang serba terbuka ini, apakah ini kemudian menjadi asumsi bahwa demokrasi yang tak gratis.
Berbagai kasus politik yang pernah digelar dipilkada sejak 2005 yang lalu, bukan tak menyisakan duka dan luka yang bukan hanya pada rakyat pemilihnya, tetapi “proses politik” justru telah meninggalkan “borok demokrasi” dengan perilaku jual beli partai dengan mahar yang fantastis. Demokrasi terbuka, sepertinya salah dipahami yang berakibat bahwa politik hanya membincangkan tentang kalah dan menang tanpa harus mempertimbangkan etika dan moralitas menjaga demokrasi sebagai nilai bukan sebagai alat kekuasaan. Karena itu, dalam event politik yang dikenal dengan Pilkada serentak sejak tahun 2017, 2018, dan 2020 mendatang seakan tidak akan menyudahi praktek “bargaining crime” dengan dalih demokrasi, padahal sesungguhnya jalur demokrasi itu ditutupinya dengan politik dinasti.
Max Weber dalam bukunya “The Protestan Etic”, dia menyebutkan bahwa dinastokrasi (politik dinasti memiliki beberapa kelemahan sekaligus ancaman bagi demokrasi. (1) Dinastokrasi, berkecendrungan tidak akan memutus mata rantai korupsi karena sirkulasi kekuasaan hanya diputar ditengah keluarga dan kolega. (2) Dinastokrasi cendrung menghambat proses jalannya demokrasi. (3) Cendrung menafikkan ketokohan, apalagi tokoh tersebut tidak memiliki financial yang cukup. (4) Egosentris, selalu dibawa keruang publik untuk membangun pencitraan keluarga. Oleh sebab itu, Weber begitu mengkhawatirkan fenomena ini kalau kemudian masuk dalam jualan atas nama demokrasi.
Sehingga berdampak pada fenomena mahar politik ataupun sejenisnya seperti money politic bukan hal baru dalam perjalanan demokrasi bangsa ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap kandidat atau calon kepala daerah baik kader internal parpol maupun non kader yang potensial harus membayar sejumlah uang atau mahar untuk mendapatkan tumpangan “kendaraan” dalam tahapan
pemilukada. Sehingga tidak heran kalau kemudian, tidak sedikit kader partai terpental jauh karena tidak memiliki cukup uang untuk membeli partai politik. Dan disatu sisi partai politik pun kian tak percaya diri sehingga dengan alasan demokrasi dan elektabilitas, maka sebagian partai politik terjebak pada “pelacuran” dengan melamar non kader dengan mahar yang cukup besar.
Realitas ini bukan saja dalam hal pemilihan kepala daerah atau pemilihan presiden, pada pemilihan legislatif pun hal serupa sering terjadi. Tak sedikit calon legislatif kita harus menjual harta benda dan merogoh kocek demi nomor urut teratas. Yah inilah wajah politik kita. Politik busuk. Politik yang diwarnai dengan uang. Budaya politik transaksional telah merobek demokrasi baik itu secara structural maupun cultural. Sebab masyarakat pemilih pun di giring kearah untuk merusak tatanan demokrasi.
Undang-Undang Parpol yang memberikan kewenangan kepada parpol untuk merekrut calon kepala daerah dan wakil kepala daerah serta calon anggota legislatif seakan melegitimasi “politik uang” atau “mahar politik” itu. Kalimat merekrut bukan berarti bahwa partai ;politik melegalkan praktek “mahar politik”, tetapi dengan mekanisme partai yang ada tentu perkaran merekrut harus disesuaikan dengan etika dan undang-undang yang ada. Etika politik, tentu bicara soal wajar atau tidak wajarnya seseorang kandidat kepala daerah untuk di promosikan sebagai calon kepala daerah atau tidak, jangan karena lantaran banyak uang lalu partai politik “tergiur” untuk melamarnya dengan alas an mumpung punya duit banyak. Pragmatism sulit terhindarkan kalau kondisi parpol masih terjebak pada budaya politik transakisonal.
Karena itu kualitas calon pemimpin kita pun hanya bisa ditakar secara materi. Karena itu “mahar politik” ini telah menjadi penyakit akut yang merusak ziarah dan perjalanan tatanan demokrasi bangsa. Artinya bahwa hanya orang berduit yang memiliki peluang dalam memimpin negeri ini. Kendatipun ada peluang pencalonan non partai tetapi persyarakatan tak sedikit. Akhirnya kita abaikan aspek-aspek keutamaan yang harus dimiliki seorang pemimpin atau pun calon pemimpin dalam bursa pencalonan. Demokrasi dalam sejarahnya tak pernah dibangun dari “materi” seperti “uang” dalam politik demokrasi liberal sekarang ini.
Dalam tradisi Yunani kuno menyebut keutamaan sebagai arete. Artinya kualitas kecenderungan positif di dalam diri seseorang untuk berkehendak dan berbuat baik sesuai dengan keutamaan itu. Dalam tradisi Barat selanjutnya membedakan empat keutamaan pokok, yakni kearifan, pengendalian diri, keadilan, dan keberanian. Keutamaan-keutamaan inilah yang memampukan seseorang melaksanakan tugasnya dengan baik atau berkompetensi maupun beramanah atau berintegritas. Kompetensi tanpa integritas itu berujung korupsi. Integritas tanpa kompetensi membuat pemimpin mudah diakali bawahan. Kekuasaan diembannya sebagai jalan melipatgandakan kebajikan publik. Tadisi yunani cendrung terkesampingkan sebab kita hanya melihat politik dan demokrasi sebagai “materi” bukan yang bersifat transcendental.
Secara kritis, bisa dikatakan bahwa kasus La Nyalla dalam Pilgub Jatim adalah fenomena yang mengungkap kejahatan partai politik. Nah, oleh karenanya, mahar politik yang dilakukan dalam sebuah proses politik di pemilukada, justru tidak memberikan edukasi politik ke masayarakat justru mempertontonkan praktek awal terjadinya korupsi. Jelas, ketika calon kepala daerah sebeleum maju harus member mahar politik yang besar kepada parpol, sehingga ketika ia sudah terpilih maka kepala daerah yang bersangkutan harus mampu mengembalikan mahar politik yang telah dikeluarkannya, dengan cara apa ? tentu dengan berbagai cara, termasuk melabrak undang-undang yang kemudian terjebaklah dalam tindak pidana korupsi.
Sehingga dengan demikian mahar politik begitu lebih mudah dimenangkan oleh politik dinasti melalui pencitraan dan “perasaan merasa” sebagai tokoh lokal yang perlu mendapat dukungan partai maupun masyarakat pemilih. Tetapi menafikkan tokoh-tokoh yang memiliki charisma tetapi tidak memiliki dana politik yang cukup untuk membeli partai politik. sebab elit politik telah menyandera keinginan rakyat dimana digelar kontekstasi politik itu, sebab siapa yang harus mengendarai partai politik tergantung berapa besar mahar, seberapa dekat dengan elit politik, itu semua menjadi “ancaman” bagi demokrasi kita. Sehingga perlu resolusi dan transformasi politik yang besar untuk mengembalikan khittah demokrasi pada sumbunya, sehingga tegaklah pilar-pilar demokrasi diatas kemauan rakyat, bukan pada pemilik modal. ***/Penulis, saifuddin al mughniy