Apakah Indonesia benar-benar siap menghadapi tumpang tindih regulasi yang selama ini menjadi bayang-bayang gelap di sektor pertambangan? Pertanyaan ini semakin mendesak dijawab ketika melihat data mengejutkan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK): sekitar 45 persen dari total 7.501 izin usaha pertambangan (IUP) di tanah air bermasalah — saling bertabrakan, tidak sinkron, bahkan tak jarang berstatus abu-abu.
Angka ini bukan sekadar statistik. Ia adalah cermin betapa rumitnya sistem perizinan pertambangan kita, dan sekaligus alarm keras bahwa tata kelola sumber daya alam Indonesia tengah berada di persimpangan jalan. Jika dibiarkan, kekacauan ini bukan hanya menghambat investasi, tapi juga mengancam keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Lebih mengkhawatirkan lagi, sekitar 5,2 juta hektar wilayah tambang ternyata berada di kawasan hutan, dan dari angka tersebut, 4,7 juta hektar di antaranya bermasalah karena izin lingkungan yang tidak lengkap atau nama perusahaan yang tidak sesuai. Ketidakselarasan regulasi antara pemerintah pusat dan daerah — diperparah oleh pergantian kepemimpinan yang kerap mengubah arah kebijakan — menciptakan labirin perizinan yang sulit ditembus dan sarat potensi konflik.
Sebagai contoh nyata, lihatlah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, lumbung timah terbesar di Indonesia. Perusahaan-perusahaan besar seperti PT Timah Tbk dan PT Mitra Stania Prima beroperasi di wilayah yang menyumbang hampir 90 persen produksi timah nasional. Namun di balik gemerlap angka produksi itu, tersimpan masalah klasik: izin yang tumpang tindih, konflik sosial antarwarga, dan tekanan ekologis yang terus meningkat. Jika tidak segera dibenahi, wilayah ini bisa menjadi potret suram bagaimana potensi ekonomi dikorbankan oleh lemahnya tata kelola.
Pemerintah sebenarnya telah berupaya memperbaiki keadaan. Pembaruan Undang-Undang Minerba dan pencabutan izin bermasalah adalah langkah penting yang patut diapresiasi. Namun, regulasi yang baik tak akan berarti tanpa komitmen politik yang kuat, koordinasi lintas level pemerintahan, dan partisipasi aktif masyarakat serta pelaku usaha.
Sudah saatnya pemerintah daerah tidak hanya menjadi pelaksana kebijakan pusat, tetapi juga mediator dan pengawas lokal yang memahami konteks sosial dan ekologis di wilayahnya. Dengan sinergi yang tulus antara pemerintah pusat, daerah, dunia usaha, dan masyarakat, tumpang tindih aturan bukan lagi menjadi momok — melainkan titik awal menuju tata kelola pertambangan yang lebih adil, transparan, dan berkelanjutan.*)
*)Penulis adalah Belty Virgianty, Mahasiswi Program Studi S1 Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Bangka Belitung












