Ketika suatu perang, para pasukan berbaris seperti semut—mendengar komando dari panglima, tak ada satupun yang bertanya tentang bagaimana caranya membunuh–tetapi sang panglima berpidato memberi semangat, bahwa perang bukan hanya soal menang dan kalah, perang bukan soal hidup atau terbunuh, tetapi perang adalah—berjuang untuk bertahan hidup. Seperti kita berada dalam satu hutan yang dipenuhi harimau—tetapi kita tetap bertahan tanpa harus menjadi mangsanya.
Sang panglima pun melanjutkan pidatonya ditengah ribuan pasukannya—bahwa perang membunuh bukan tujuan tetapi perang adalah bagaimana menjaga Marwah dan harga diri kita sebagai manusia dan bangsa agar tak jatuh—tanpa penghormatan. Melawan adalah sesuatu yang pasti, tetapi hidup bertahan (survival) juga jauh lebih penting.
Dan, dimedan perang tak ada perilaku saling menyalahkan, bila bisa menghindar untuk membunuh—jangan lakukan kalau dirimu terancam untuk terbunuh.
Perang tak selalu menghadirkan musuh dan pasukan yang banyak, tetapi perang kadang menghadapi musim—dimana suhu pasukan tidak sesuai dengan kultur Medan yang ada.
Panglima tak akan mungkin menyalahkan pasukan yang salah melepaskan anak panahnya, begitu pula sang pasukan tak menyalahkan sang panglima yang mengambil langkah untuk menyerang atau menyerah.
Tetapi mereka saling memuji dan tak pernah saling menyalahkan—kehormatan korps mereka tetap jaga. Sebab saling menyalahkan justru akan menyebabkan kegaduhan akan muncul.
Maka panglima yang baik adalah mereka yang mau menghargai pasukannya—dan pasukan yang baik adalah mereka yang mendapatkan penghormatan dari sang panglimanya. Hidup saling memuji adalah—sikap membangun peradaban.
#catatanRingan
2 Syawal 1441 H.