MERINDUKAN PEMIMPIN YANG SEDERHANA

Benar kata pameo, setiap orang punya sejarahnya tersendiri, dan setiap sejarah punya orangnya tersendiri. Setiap manusia memiliki hukum dialektis (sunnatullah), ada—lalu berganti bisa dibilang berevolusi secara sosial. Sejarah manusia adalah sejarah pergantian—tak ada yang benar² kekal keberadaannya, pasti berganti dan hilang begitu saja. Bisa hilang karena evolusi sosial atau bisa karena revolusi sosial.

Pemimpin adalah hasil revolusi sosial—yang dalam ilmu sosiologi lebih dikenal dengan istilah genetikal socious. Bahwa ada gen sosial yang bergerak untuk kemudian menjadi sesuatu bentuk. Pemimpin adalah bentuk polarisasi dari genetik yang berganti secara prosedural—bisa dibilang ala demokratisasi.

Karena itu pemimpin tidaklah identik dengan kemegahan, kemewahan dan pernak pernik yang melingkupinya. Sebab filosofisnya seseorang sebelum jadi pemimpin justru ia berstatus pengemis—dalam artian peminta² suara agar dipilih. Era politik modern seakan mengamini bahwa demokrasi itu mahal—maka pemimpin pun yang dilahirkannya pasti bermental kemewahan.

Kenapa para pemimpin kita (sebagian) tak belajar dari sejarah pemimpin² besar tapi hidupnya begitu sederhana. Mohammad Natsir yang pernah menjabat menteri penerangan di tahun 1946, dan pernah menjabat sebagai perdana menteri tahun 1950-1951, justru tidak dapat membeli rumah, bahkan hanya numpang disatu pavilliun sahabatnya. Kendaraanya pun hanya sepeda ontel dipakai untuk mengabdi dibangsa ini. Hingga suatu saat JS Kasimo dari PNI sahabatnya ingin membelikan kendaraan dan rumah untuknya tapi ia tolak—ia katakan terima kasih bung Kasimo atas empatinya, bahwa saya akan mengabdi dibangsa ini bukan karena kemewahan kendaraan dan rumah lengkap dengan penjagaan dan fasilitasnya, tapi aku hanya ingin mengabdi dengan pikiranku, hatiku dan ketulusanku.

JS Kasimo begitu terharu mendengar ucapan Mohammad Natsir. Seorang perdana menteri tanpa rumah dan kendaraan—tanpa pernak pernik kemewahan seorang pejabat.

Adakah Mohammad Natsir diera politik modern seperti saat ini?, adakah sosok Mohammad Natsir yang rela tidur di Pavilliun tanpa kasur diera modern seperti saat ini?,…Begitu pula K.H. Agus Salim yang tinggal digang sempit, Bung Hatta hingga ia meninggal tak mampu membeli sepatu yang ia idam²kan.

Semoga para pemimpin² kita dapat mengambil pelajaran dari sosok Mohammad Natsir, Agus Salim dan Bung Hatta—agar pemimpin tak semata berlebelkan kemewahan, tapi bagaimana menjadi pemimpin yang sederhana namun terhormat dihati rakyatnya.

# Catatan_Malam
Belajar memahami sejarah.