Tanggal 1 Juli merupakan hari jadi Kecamatan Tanjung Pandan. Tahun ini diperingati secara besar-besaran dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Bisa jadi karena 3 alasan, yaitu: 1. Bupati-Wabup Belitung masih baru (sekitar 4 bulan); 2. Kehadiran Bintang Juara Indonesia Idol yang kebetulan putri daerah Belitong; dan 3. Menggerakan sektor Pariwisata yang beberapa tahun lalu sejak pandemi Covid-19 terkesan mati suri.
Di tataran pelaksanaannya, menyisakan pertanyaan yang bersifat paradoks tak dapat dihindari. Betapa tidak, karena sekelas Kecamatan sampai mendatangkan Wakil Gubernur, tak cukup Bupati. Pun juga masuk ke agenda Sidang Paripurna DPRD yang antara lain Bupati dan Ketua DPRD Belitung memberikan sambutan. Bahkan melebar ke evaluasi sebagian kinerja kepemimpinan Bupati baru. Sangat tidak fokus. Dan peranan Camat sebagai pemilik wilayah yang sedang berulang tahun minim penampakannya.
Belum lagi jika dikomparasikan dengan kondisi riil ekonomi masyarakat mayoritas. Daya beli melemah dan kebutuhan memasuki tahun ajaran sekolah baru. Serta itu bisa dipertajam dengan asal-muasal pembiayaan acara tersebut, menggunakan anggaran daerah atau tidak.
Begitu pula perlakuan terhadap 4 Kecamatan lain di Kabupaten Belitung, apakah akan sama atau setara, karena sama-sama satu level, KECAMATAN. Tak dipungkiri bahwa Tanjung Pandan adalah atmosfir bagi seluruh Kecamatan se Pulau Belitong. Kota utama dan icon bagi Pulau Belitong.
Kita berharap event tersebut dapat menjadikan magnitude bagi kegiatan kepariwisataan Belitung secara menyeluruh. Moment “masih hangatnya” predikat yang disandang oleh Sabrina semoga menjadi trigger pertumbuhan pariwisata. Tak sebatas hura-hura dan menghibur masyarakat lokal, sekalipun itu dibutuhkan. Efek yang lebih luas dan berganda pada kegiatan ekonomi sangat diharapkan.
Jangan sampai ada anekdot sebagaimana di setiap pergantian kepemimpinan pada hampir semua organisasi, seperti kejadian dan dialog dibawah ini. Ada 3 aktivitas yang selalu menyertai setiap pergantian Pemimpin, yaitu pidato para petinggi, hiburan dan makan-makan.
Pidato para petinggi dan makan-makan sudah sangat dimaklumi, oleh karenanya tak perlu di kupas disini. Yang menarik adalah kiasan di saat hiburan yang umumnya diisi dengan bernyanyi, setelah “lomba” pidato.
Terdapat 3 keadaan saat hiburan bernyanyi usai.
Pertama, Pejabat lama bertepuk tangan ketika penyanyi merampungkan tembangnya. Pejabat Pengganti bertanya, kenapa mesti di tepuk tangani, Bos? Wong penyanyinya tidak cantik-cantik amat? Pemimpin yang digantikan mengatakan: “jangan lihat tampangnya (tidak cantik), tetapi resapi indah suaranya.” Kedua, penyanyinya cantik dan Pemimpin yang akan menyerahkan jabatannya itu bertepuk tangan lagi. Kembali Pemimpin Pengganti bertanya, apa istimewanya penyanyi tersebut, wong suaranya tidak bagus-bagus amat. Pejabat sebelumnya katakan bahwa betul suaranya tidak bagus, tetapi perhatikan keanggunan dan keayuannya. Tepuk tangan tadi untuk itu.
Maka Pejabat Pengganti sadar, bahwa seniornya sedang mengajari bahwa segala sesuatu itu dilihat dari sisi baiknya, bukan keburukannya. Rasional!
Tiba giliran penyanyi kondisi terakhir. Juga di applause oleh Pejabat Lama, dan (seperti biasa) Pejabat Baru bertanya, mengapa kudu di tepuk tangani, karena baik suara maupun paras wajahnya tak sebaik penyanyi sebelumnya? Pemimpin Lamanya memberi komentar: “Lu tahu gak kalau yang barusan nyanyi dan saya tepuki itu adalah isteri komandan, Bos kita? Pemimpin Baru itupun mengangguk sambil melemparkan senyuman.
Keadaan nyanyi dan tepuk tangan itu banyak mentradisi di lingkungan masyarakat. Melihat siapa yang bicara, bukan apa isi pembicaraannya. Subyektif!.*)
————–
Cipinang Muara, 02 Juli 2025
[HAM]
.*)Penulis adalah H. Hamlet Subekti (pemerhati sosial dan pembangunan










