Pemikiran Pendidikan Karakter Al-Ghazali,Lawrence Kolberg & Thomas Lichona

Kondisi masyarakat saat ini sangat memprihatinkan. Masalah intoleransi, kenakalan remaja, perbuatan amoral, diskriminasi, korupsi, dan lain-lain telah memberi dampak yang luar biasa pada setiap sisi kehidupan.

Proses kehidupan manusia selalu diwarnai berbagai pengaruh yang kadang tidak sesuai dengan ajaran agama. Kondisi semakin buruk, manakala anak-anak juga kurang mendapat pendidikan agama yang layak dari keluarga.

Begitu juga, kemajuan ilmu dan teknologi membawa dampak baik dan buruk bagi perkembangan anak-anak dan remaja. Dampak baik karena perkembangan ilmu dan teknologi akan menyelaraskan kehidupan mereka pada terpenuhinya kebutuhan jasmani dan rohani.

Dampak buruk, jika anak-anak tidak mampu bertahan dalam kehidupan yang penuh ketaatan pada agama.

Menjawab hal itu semua, pendidikan akhlak menjadi kebutuhan utama dalam kehidupan. Akhlak menjadi kebutuhan dasar ketika anak-anak mulai mengenal dan berinteraksi dengan lingkungannya.

Peran ini memang haruslah dimulai keteladanan orang tua. Akhlak anak akan terbentuk sesuai pembiasaan yang dilakukan dalam orangtuanya (Wardani et al., 2020; Busroli, 2019). Kehidupan yang sempurna menuntut adanya pendidikan yang ideal, yaitu pendidikan yang mengantar manusia menuju kebahagiaan di dunia dan akherat.

Ada beberapa model pendidikan karakter yang diperkenalkan para ilmuan. Seperti pendidikan akhlak dari al-Ghazali, pendidikan moral oleh Lawrence Kolbergh, dan pendidikan karakter yang digagas Thomas Lichona,

Al-Ghazali (Vol, 2021), seorang ulama besar islam yang bernama lengkap Abu hamid bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i, lahir tahun 450H/1058 M. Karyanya tentang pendidikan akhlak terkenal dan menjadi pedoman bagi seluruh masyarakat dunia.

Filosof al-Ghazali berpendapat, bahwa akhlak selain berupa perbuatan tapi juga suatu upaya seseorang dalam memunculkan sikap perilaku terus menerus dilakukan karena sudah menjadi suatu kebiasaan dalam waktu yang lama (Suryadarma & Haq, 2010).

Al-Ghazali menjelaskan, akhlak adalah (Suryadarma & Haq, 2010) sifat yang melekat pada jiwa seseorang sehingga mudah tampak pada sikap perilaku, dan sangat mudah dilakukan tanpa perencanaan dan pertimbangan matang. Akhlak menunjukkan sifat atau kebiasaan seseorang yang dengan sadar bertindak dan berperilaku tanpa paksaan dari siapapun (Vol, 2021; Fitriana & Listrianti, 2020; ).

Akhlak yang melekat dalam jiwa seseorang melalui proses panjang yang sulit diubah. Karakter atau akhlak merupakan suatu kondisi hati yang mudah melakukan amal perbuatan tanpa berpikir jernih.

Kemuliaan manusia terletak pada keluhuran akhlak yang tercermin pada perilaku sehari-hari. Kebaikan akhlak terpusat pada empat hal, yaitu: jiwa yang baik, badan yang sehat, kebaikan eksternal, dan kebaikan bimbingan (Rostitawati, 2016).

Sedangkan Lawrence Kolbergh mengagas teori perkembangan moral. Menurutnya, teori Kohlberg tentang perkembangan moral merupakan pelumas, modifikasi, dan penyempurna atas teori perkembangan kognitif Piaget. Hal ini sesuai dengan penelitian Piageat tahun 1932, tentang bagaimana anak-anak yang berusia 4-12 tahun berpikir tentang hal-hal yang berkaitan dengan moral (Khoirun Nida, 2013).

Pendidikan moral menjadi bagian utama dalam kehidupan (Khoirun Nida, 2013). Keluhuran moral menjadi bagian dari tujuan pendidikan nasional, yaitu membimbing peserta didik agar memiliki keteguhan spiritual dan sosial, mampu mengendalikan diri, berkepribadian mulia, dan memiliki keterampilan sesuai bakat dan kemampuannya. Pembiasaan berkarakter tidak lepas dari aspek mental peserta didik. Aspek psikis tersebut sangat berpengaruh dalam proses mencapai kesuksesan pembentukan karakter itu sendiri.
Rogers dalam Nur Azizah (Azizah, 2015) mengartikan moral sebagai sebuah pedoman berperilaku di masyarakat. Dengan moral peserta didik akan berinteraksi dengan nilai-nilai moral yang sudah tertanam dalam dirinya sejak ia mengenal kehidupan.
Moral juga akan menentukan sikap tindakan baik atau buruk berdasar pemikiran nalarnya. Moral dianggap sebagai konsep penyelesaian antara masalah diri sendiri dan masalah dengan kelompok, juga antara hak dalam perilaku yang mendominasi, serta kewajiban yang harus ditaati sesuai kesepakatan, sehingga penyelesaian dalam sikap apapun merupakan hasil pemikiran yang diyakini kuat untuk di laksanakan.
Dalam konteks pendidikan Indonesia, kebijakan kemendikbud tentang pendidikan karakter berfokus pada pengembangkan karakter, ketrampilan dan kemampuan kognitif. Dan kurikulum 2013, telah menjadi dasar program pendidikan karakter yang bertujuan membentuk manusia Indonesia seutuhnya melalui perbaikan moral anak bangsa.

Selanjutnya pemikiran karakter dari Thomas Lichkona. Dia menggagas pendidikan karakter dengan melibatkan proses perkembangan anak dengan pengetahuan, perasaan, dan tindakan, yang kesemuanya itu diramu dalam suatu pendidikan karakter yang koheren dan komprehensif (Ahsani, 2014).

Pendidikan karakter yang sifatnya luas dan saling berkaitan satu sama lain akan mudah membangun konsep moral peserta didik dan mempraktekkannya dalam dunia kehidupannya. Sebenarnya bagi Thomas Lickona keburukan moral dipandang cenderung lebih mengacu pada pemikiran mereka yang muda dan berpendidikan tinggi (Ahsani, 2014). Pendapat tersebut dilontarkan setelah Lickona melihat hasil survey yang dilakukan oleh Jerald Jellison seorang psikolog dari University of Southern Colifornia yang hasil surveinya menyebutkan rata-rata responden mengaku pernah melakukan penipuan, perselingkuhan, dan mabuk ketika berkendaraan (Ahsani, 2014). Dari kenyataan itu, maka Thomas Lickona mulai menggagas konsep pendidikan karakter.
Thomas Lichona menggagas tiga aspek penting dalam membentuk karakter, yaitu moral knowing (mengetahui moral), moral feeling (penghayatan moral) , dan moral action (perilaku moral) (Karakter et al., 2018). Tanpa ketiga langkah-langkah tersebut, pendidikan karakter tidak akan efektif.
Pendidikan moral perlu dikenalkan sejak dini melalui keteladanan orang tua dan pembiasaan setiap hari. Sikap perilaku yang terbiasa dilakukan akan membekas dalam diri anak. Perilaku yang dilakukan secara terus menerus akan menjadi watak yang sulit diubah sampai anak dewasa.
Jadi, dalam pendidikan karakter dibutuhkan pengetahuan yang bisa menilai secara objektif tentang baik buruknya suatu norma atau kaidah yang berlaku. Hal itu dilakukan dengan melibatkan pikiran dan perasaan sehingga muncul sikap atau konsep yang benar dan tepat (Amri & Intisari, 2019 ; Wardani et al., 2020)
Dengan demikian, pendidikan karakter dalam pandangan Lickona bukanlah sekedar mengajarkan pengetahuan kepada peserta didik tentang mana yang baik dan mana yang buruk

Melihat itu semua, kunci utama pembentukan karakter adalah tanggungjawab semua pihak, baik keluarga, sekolah, maupun di masyarakat. Begitu pentingnya pendidikan karakter sehingga harus dilakukan di sepanjang zaman. Kesuksesan pendidikan karakter akan menghasilkan peserta didik yang unggul dan santun ketika mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pendidikan akhlak menjadi kebutuhan utama dalam kehidupan manusia. Melalui keteladanan orang tua, akhlak anak akan terbentuk sesuai pembiasaan yang dilakukan dalam orangtuanya. Pendidikan akhlak (karakter) dalam keluarga, menjadi awal bagi proses tumbuh kembangnya kecerdasan spiritual, pengetahuan, dan sosial anak.

Dan pada kesimpulan akhir, pendidikan karakter dari kacamata Al-Ghazali menjelaskan bahwa akhlak adalah sifat yang melekat pada jiwa seseorang sehingga tampak pada sikap perilaku, dan sangat mudah dilakukan tanpa perencanaan dan pertimbangan matang.
Sedangkan pandangan dari Thomas Lichona menyebutkan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (felling), dan tindakan (action).
Sementara, Pendidikan moral menurut Lawrence Kolberg, berupa sikap perilaku seseorang berdasarkan perkembangan nalarnya yang dipraktekkan di lingkungannya.
Singkat kata, keluhuran moral menjadi bagian dari tujuan pendidikan nasional, yaitu membimbing peserta didik agar memiliki keteguhan spiritual dan sosial, mampu mengendalikan diri, berkepribadian mulia, dan memiliki keterampilan sesuai bakat dan kemampuannya. *)

*)Penulis adalah Indah Candrasari/Mahasiswa Program Doktor Pendidikan Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Malang