Pengerit dan Pengecer Dimata Hukum

Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi dibagi kedalam 2 (dua) kategori Kegiatan, yaitu Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir, dimana Eksplorasi dan Eksploitasi termasuk kedalam
Kegiatan Usaha Hulu Migas sedangkan Usaha Hilir Migas terdiri dari Kegiatan Pengangkutan, Penyimpanan, Pengolahan, Niaga BBM dan hasil olahanya. Kedua kategori Kegiatan Usaha tersebut hanya dapat diakses dan dilaksanakan oleh Badan Usaha yang telah berbadan Hukum setelah mendapat Perizinan Berusaha yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat (Pasal 40 Angka 3 UU RI No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja sebagai perubahan atas Pasal 5 UU RI No. 22 tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi).

Menurut PP No. 69 Tahun 202I sebagai perubahan kedua dari PP No. 191 Tahun 2014 Tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, BBM digolongkan
kedalam 3 (tiga) Jenis, yaitu: Jenis BBM Umum atau Non Public Service Obligation (Non
PSO)/Tidak Disubsidi yang terdiri atas seluruh jenis BBM diluar Jenis BBM Tertentu dan Jenis BBM Khusus Penugasan yang disalurkan kepada Masyarakat umum, Jenis BBM Tertentu terdiri atas Minyak Tanah (Kerosen) dan Minyak Solar (Gas Oil) dan Jenis BBM Khusus Penugasan
Pemerintah yang terdiri atas Bensin (Gasoline) Ron minimum 88 untuk didistribusikan di
wilayah penugasan yang meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali di wilayah Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah,
Provinsi Jawa timur, Provinsi DI Yoryakarta, dan Provinsi Bali adalah merupakan BBM Public Service Obligation (PSO)/Yang Disubsidi Pemerintah yang disalurkan hanya kepada Masyarakat khusus dan tertentu berdasarkan kriteria yang telah ditentukan dan ditetapkan Pemerintah.

Setelah melalui proses Usaha Hilir Migas yang terdiri dari Kegiatan Pengangkutan,
Penyimpanan, Pengolahan, Niaga BBM dan hasil olahanya, Sebagian dari pelaksanaan
penyaluran BBM kepada Masyarakat dilakukan oleh PT. Pertamina (Persero) secara langsung melalui Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum (SPBU) dengan sistem Company Owner Company Operator (COCO) atau bekerjasama melibatkan Badan Usaha swasta yang telah memenuhi Perizinan Berusaha yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat dengan skema bisnis Company Owner Dealer Operator (CODO), sedangkan Stasiun Pengisian Bahan bakar Nelayan (SPBN) dikhususkan hanya untuk pelayanan penyaluran BBM PSO kepada Masyarakat Nelayan.
Untuk dapat melakukan Kegiatan Usaha Hilir Migas terlebih dahulu harus mendapat Perizinan Berusaha yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, dimana menurut UU RI No. 22 tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah diubah berdasarkan ketentuan Pasal 40
UU RI No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, Kegiatan Usaha Hilir hanya dapat dilakukan oleh Badan Usaha yang telah Berbadan Hukum (Recht Person), maka dapat dikatakan Badan Usaha Berbadan Hukum yang telah mendapat Perizinan Berusaha yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Pusat adalah Subjek Hukum dalam Kegiatan Usaha Hilir Migas, sedangkan
Masyarakat sebagai Orang perseorangan (Natuurijk Person) tidak bisa mengakses Perizinan Kegiatan Usaha Hilir Migas, dengan demikian Masyarakat sebagai Orang perseorangan tidak
memenuhi kriteria dan bukanlah kategori yang dimaksud dari UU, oleh karena tidak memenuhi syarat dan kualifikasi, maka Masyarakat sebagai Orang perseorangan sudah barang tentu
tereleminasi dan dalam Kegiatan Usaha Hilir Migas bukanlah dimaksud sebagai Subjek Hukum.

Karena terbatasnya Jumlah dan jam operasional SPBU sebagai titik salur BBM, untuk
mencukupi kebutuhan atas BBM, Masyarakat yang rumahnya berjarak jauh dari jangkauan SPBU atau karena kondisi dan waktu tertentu membeli BBM di kios-kios usaha masyarakat yang oleh Masyarakat umumnya dikenal dengan sebutan “Pengecer” dengan takaran perbotol atau
perjerigen ukuran kecil dan sedang. BBM yang dijual Pengecer tersebut didapat dari perniagaan terhadap Orang yang membeli langsung BBM di SPBU dengan harga eceran yang telah ditetapkan Pemerintah yang biasa disebut dengan “Pengerit”. Apakah Praktek Membeli BBM kepada SPBU, Mengangkut, Menyalin dari tangki mobil kedalam jerigen-jerigen, menyimpan jerigen-jerigen dan menjualnya kepada Pengecer yang dilakukan Pengerit, Praktek Pengecer Membeli kepada Pengerit BBM dalam jerigen-jerigen
kemudian menyalin BBM dari jerigen kedalam botol-botol, menyimpan jerigen-jerigen dan
botol-botol dan menjualnya kepada Masyarakat orang perseorangan tersebut merupakan Kegiatan yang dimaksud Pengangkutan,  Pengolahan, Penampungan atau Niaga yang dimaksud
UU RI No. 22 tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dirubah melalui
ketentuan Pasal 40 UU RI No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja?

 

Tentang Pengangkutan

Sebagaimana tertuang dalam Pasal 40 Angka 1 UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
sebagai Perubahan atas Pasal 1 ayat 12 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi disebutkan “Pengangkutan adalah kegiatan pemindahan Minyak Bumi, Gas Bumi dan/atau hasil olahannya dari wilayah kerja atau dari tempat penampungan dan pengolahan, termasuk pengangkutan gas Bumi melalui pipa transmisi dan distribusi.”.
Wilayah kerja sebagaimana dimaksud tertuang dalam Pasal 40 Angka 1 UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja sebagai Perubahan atas Pasal 1 ayat 16 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang menyebutkan “Wilayah Kerja adalah daerah tertentu
didalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia untuk Pelaksanaan Eksplorasi dan
Eksploitasi”, Sedangkan tempat Penampungan dengan Pengolahan dihubungkan oleh kata “dan” sehingga bersifat kumulatif, oleh karenanya untuk dapat dikategorikan sebagai Pengangkutan
tempat asal minyak solar bersubsidi harus berasal dari tempat yang tidak hanya berfungsi untuk penampungan, melainkan juga berfungsi sebagai pengolahan (Pertimbangan Putusan Majelis
Hakim PN Tanjungpandan No. 71/Pid.Sus/2021/PN.Tdn), sehingga dapat disimpulkan bahwa peristiwa mengangkut BBM yang dilakukan Pengerit dari SPBU bukanlah merupakan Kegiatan Pengangkutan menurut UU, karena SPBU bukanlah Wilayah Kerja atau Tempat Penampungan dan Pengolahan BBM, melainkan Tempat sebagai titik salur BBM kepada Masyarakat sebagai
konsumen umum, khusus maupun tertentu.

 

Tentang Pengolahan

Sebagaimana tertuang dalam Pasal 40 angka 1 UU RI No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
sebagai Perubahan atas Pasal 1 ayat 11 UU RI No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas
Bumi disebutkan ”Pengolahan adalah kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-bagian,
mempertinggi mutu dan mempertinggi nilai tambah Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi tetapi tidak termasuk pengolahan lapangan”.
Sehingga jika tidak dilakukan pengoplosan atas BBM yang dibeli dari SPBU, peristiwa menyalin BBM dari tangki mobil kedalam jerigen-jerigen yang dilakukan Pengerit atau peristiwa menyalin
BBM dari Jerigen kedalam botol-botol oleh Pengecer bukanlah Kegiatan Pengolahan menurut
UU, karena hanyalah sebuah peristiwa memindahkan untuk mempermudah proses menjual tanpa melakukan pemunian, memperoleh bagian-bagian, mempertinggi mutu dan mempertinggi nilai tambah Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi.

Tentang Penyimpanan

Mengutip bunyi Pasal 40 angka 1 UU RI No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja sebagai
Perubahan atas Pasal 1 ayat 13 UU RI No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi yang pada pokoknya menyebutkan bahwa “Penyimpanan adalah kegiatan penerimaan, pengumpulan,
penampungan dan pengeluaran Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi”. oleh karena SPBU hanya
menyalurkan kepada masyarakat produk BBM siap pakai bukan berbentuk Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi, maka penampungan kedalam wadah jerigen-jerigen dan botol-botol oleh Pengerit atau Pengecer bukanlah Kegiatan Penyimpanan sebagaimana dimaksud oleh UU.

Tentang Niaga

Niaga adalah kegiatan pembelian, penjualan, ekspor, impor Minyak Bumi dan/atau hasil olahannya menurut ketentuan Pasal 40 angka 1 UU RI No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja sebagai Perubahan atas Pasal 1 ayat 14 UU RI No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi. Subjek Hukum berupa Badan Usaha yang telah Berbadan Hukum (Recht Person) haruslah terlebih dahulu mendapat Perizinan Berusaha yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat untuk dapat melakukan Kegiatan Niaga, sedangkan Masyarakat sebagai Orang perseorangan (Natuurijk Person) karena haknya atas ketersediaan dan kelancaran pendistribusian BBM yang merupakan komoditas vital dan menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib dijamin Pemerintah menurut Pasal 8 ayat 2 UU RI No. 22
tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah diubah berdasarkan ketentuan
Pasal 40 UU RI No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja atau karena hak yang timbul
berdasarkan ketentuan Pemerintah melalui Peraturan sebagai penerima manfaat atas sejumlah alokasi subsidi tahunan terhadap BBM Khusus Penugasan atau BBM Tertentu yang telah ditetapkan Pemerintah, maka dapat dikatakan kedudukan Masyarakat orang perseorangan adalah sebagai Konsumen yang dapat melakukan pembelian BBM dari SPBU sebagai Badan Hukum yang melakukan penyaluran kepada Konsumen.
Ketika telah melakukan pembayaran dengan sejumlah uang sesuai dengan jumlah perolehan BBM yang dibelinya melalui titik salur SPBU, maka pembelian yang dilakukan Konsumen kepada SPBU adalah pembelian/niaga yang sah menurut hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1457 KUHPerdata “jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.
Sebagai Konsumen sudah barang tentu Masyarakat orang perseorangan tidak mempunyai
kewajiban melakukan pengaturan, pengawasan, penertiban, apalagi pembatasan atas konsumsi dan pemakaian terhadap BBM.
Sedangkan Jual beli BBM yang dilakukan oleh Subjek Hukum Orang perseorangan (Natuurijk
Person) yaitu Pengerit kepada Pengecer dan Pengecer kepada Masyarakat adalah Niaga BBM
yang tidak sah karena tidak dilengkapi perizinan usaha yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, karena untuk dapat mengakses perizinan tersebut haruslah berupa Badan Usaha yang telah
Berbadan Hukum (Recht Person), maka Niaga tanpa izin tersebut dapat dikatakan melanggar ketentuan Pasal 40 Angka 8 UU RI No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja sebagai perubahan atas Pasal 53 UU RI No. 22 tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi yang secara tegas menyatakan “Jika tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23A mengakibatkan timbulnya
korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling tinggi Rp50.000.000.000,00
(lima puluh miliar rupiah).”. Kemudian dalam UU yang sama pada Angka 5 disebutkan “(1)
Setiap orang yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, dikenai sanksi administratif berupa penghentian usaha dan/atau
kegiatan, denda, dan/atau paksaan Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.”.

Dengan demikian atas kegiatan Niaga BBM yang tidak sah karena tanpa dilengkapi izin tersebut, Pengerit, Pengecer dan Masyarakat Orang perseorangan oleh Pemerintah dapat dikenakan Sanksi Administratif saja, namun jika terjadi sesuatu keadaan yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan, barulah dapat
dikenakan sanksi pidana dengan pidana penjara berdasarkan kententuan Undang-Undang.

Belitung Timur, 18 September 2021.

*Penulis adalah Adetia Sulius Putra, S.H.
Advokat/Ketua LSM BTP/Wakil Ketua DPD KNPI Beltim Bidang Hukum & Advokasi