Merah dan putih tentu bukanlah sebatas gugusan warna seperti hal hitam, biru, kuning, hijau dan seterusnya. Dibanyak pameo orang seringkali menyebut bahwa merah itu berarti berani. Merah selalu diartikulasikan sebagai simbol keberanian, keperkasaan dan keteguhan. Sementara putih selalu disebut sebagai simbol suci atau kesucian.
Sakralitas memang penting untuk memaknai sesuatu agar sesuatu itu terjaga eksistensinya. Misalnya masyarakat Badui dan Suku Ammatoa Kajang dengan pakaian serba hitam, bagi Ammatoa hitam itu adalah simbol “ketauhidan” Tuhan dan alam semesta. Tetapi sebagian orang menyebutnya hitam itu adalah simbol kegelapan. Bagi Ammatoa, Tuhan itu turun dalam kegelapan bukan dalam gelap, sehingga pakaian hitam adalah bagian dari tradisi melanjutkan perjalanan ketuhanan.
Namun dibagikan yang lain—hitam bagi “paranormal” adalah jalan mistik, Marthin Heidegger menyebutnya sebagai mistik keseharian, dan Anand Khrisna mendakunya.sebagai Kearifan Mistisisme. Dua pikiran ini sesungguhnya membawa kesadaran kita untuk mengenal simbol² dan seringkali kita dapati dalam filsafat perenial istilah itu yang dikenal dengan sebutan “tanda penanda”.
Elliade, justru melihat pada sisi yang lain dari deduktif maupun induktif dengan istilah profan dan sakral. Profan atau hal yang biasa² saja bisa menjadi sakral apabila sesuatu yang biasa² itu menjadi sesuatu yang sakral. Dan sakralitas tidak didapatkan dari perjalanan mistik belaka tetapi juga bisa didapatkan melalui persepakatan.
Nah terkait dengan simbol negara seperti bendera. Bendera Jepang dengan simbol matahari merah dapat diartikulasikan sebagai simbol kemajuan. Indonesia dengan Merah Putih memadukan dua simbol kekuatan yakni keberanian dan kesucian. Sakralitas ya tentu tidak terletak di posisi warna— tetapi nilai sakralitasnya ada pada nilai sejarahnya. Bagaimana para pejuang di bangsa ini dengan darah dan airmata memperjuangkan sejengkal tanah dari penjajah. Bagaimana ibu Fatmawati Soekarno menjahit bendera merah putih ini sebagai simbol perjuangan bangsa.
Kenapa kita harus marah saat merah putih itu di injak dan dibakar?, Kemarahan itu tentu punya alasan yang kuat yakni “untuk menjaga nilai sejarahnya”. Kenapa?, Sebab sejarah adalah tugu ingatan. Refleksitas selalu perlu dihidupkan sebagai bentuk menjaga Marwah kesejarahan. Bagaimana mungkin (kita) akan mempersoalkan peradaban bila tugu ingatan kita rapuh pada nilai sejarah. Absurd bukan?..
Karena itu, sakralitas perlu dipahami sebagai nilai (value), bukan sebatas pada simbol. Tetapi bahwa merah putih adalah nilai sejarah dan simbol kebangsaan itu juga perlu dijaga dan dirawat sebagai bagian dari kewarasan kita berkemanusiaan.
# catatanRingan
Dari sejarah kita mengenal












