CENG BENG, BUDAYA MENGHORMATI LELUHUR

Saat Qing Ming, etnis Tionghoa akan melakukan sembahyang di makam orang tua dan leluhur mereka. Tradisi ini dimulai sejak Dinasti Ming (1368 - 1644).

Bagi masyarakat Tionghoa, saat-saat ini adalah masa-masa memasuki hari Qing Ming (Mandarin) atau Ceng Beng (dialek Hok Kian). Qing Ming biasanya jatuh pada 5 April setiap tahun.

Saat Qing Ming, etnis Tionghoa akan melakukan sembahyang di makam orang tua dan leluhur mereka. Tradisi ini dimulai sejak Dinasti Ming (1368 – 1644).

Qing Ming adalah nilai-nilai ajaran Konghucu yang menekankan penghormatan pada orangtua dan leluhur.

Secara historis ajaran Konghucu adalah filsafat tentang bagaimana pandangan hidup yang benar, dan apa tujuan dari kehidupan itu sendiri. Konghucu mengajarkan prinsip-prinsip kemanusiaan, ketertiban sosial, penghormatan kepada leluhur, kepatuhan terhadap pemimpin, dan praktik kebajikan.

Konghucu mengajarkan juga pentingnya etika pribadi dan kehidupan yang seimbang.

Seiring berjalannya waktu, lalu ajaran Konghucu berkembang menjadi agama, dan Konghucu pun disebut Nabi Kongzi.

Pada masa Orde Baru, umat Konghucu mengalami tekanan yang cukup berat akibat peristiwa G 30 PKI. Tatkala itu dikenal Poros Jakarta-Pyongyang-Peking. Lantas setelah peristiwa itu, Etnis Tionghoa di Indonesia dicap komunis termasuk umat Konghucu, padahal pada dasarnya mereka tidak ada sangkut paut dengan peristiwa ini.

Untuk menyelamatkan diri, umat Konghucu menyembunyikan identitasnya. Sebagian besar penganut Konghucu mengganti menjadi penganut agama Budha di KTP mereka. Ada pula mencantum penganut agama lain. Nama Tionghoa yang diberikan oleh orang tua pun diganti menjadi nama Indonesia. Bahkan banyak yang tidak bisa menulis nama Tionghoa mereka sendiri.

Pada masa itu, umat Konghucu seperti anak ayam yang kehilangan induk. Akhirnya Penganut Konghucu pun menginduk ke Agama Buddha, lantas lahirlah Tri Dharma di kelenteng yaitu Buddha, Konghucu, dan Tao.

Meskipun ajaran Konghucu mengakui adanya Tuhan, namun ajarannya lebih menekankan pada hubungan sesama manusia.

Dalam peribadatan, umat Konghucu menggunakan dupa. Filosofi dupa merupakan asap, yang akan membawa doa mereka terbang ke langit atau ke Tuhan. Pemakaian dupa, bukanlah kewajiban. Tanpa dupa pun boleh.

Agama Konghucu punya karakteristik tersendiri. Konghucu tidak mengharuskan seseorang melalui proses formal untuk menjadi penganut agama Konghucu. Seseorang boleh mengadopsi nilai-nilai Konghucu kedalam kehidupannya sehari-hari, tanpa ia harus menjadi penganut Konghucu.

Demikian sedikit tulisan saya, semoga bermanfaat. *Kurnianto Purnama, SH,MH.