EKONOMI INDONESIA DARI KACAMATA DAS KAPITAL

Indonesia hari ini bukan hanya sebatas tentang siapa yang bekerja dan siapa yang menguasai. Namun soal bagaimana logika kapital telah menyusup ke cara kita mencintai, belajar, bahkan bermimpi.

Das Kapital For Beginners berjalan melewati fondasi ekonomi modern, sambil mengajak merenungi realitas di sekitar kita: “upah murah dianggap berkah, waktu kerja panjang yang dirayakan, dan kemiskinan yang terus dipoles agar tampak layak.”

Das Kapital juga mengajarkan bagaimana untuk menjadi kaya sekaligus mempertanyakan kenapa hanya segelintir yang sanggup.

Nilai Lebih Yang Tak Dibagi

Das Kapital menjelaskan bahwa dalam sistem kapitalisme, buruh dibayar bukan berdasarkan nilai sesungguhnya dari tenaga yang mereka hasilkan, melainkan berdasarkan kebutuhan minimum agar mereka bisa bertahan hidup dan bekerja kembali. Sisanya? Menjadi milik pemilik modal.

Ketika melihat pabrik-pabrik besar di Indonesia yang memproduksi jutaan barang setiap bulan. Pertanyaannya bukan lagi tentang produktivitas, tetapi siapa yang mendapatkan hasilnya?

Negara dan Modal, Siapa yang Mengabdi?
Dalam Das Kapital, negara bukanlah penengah netral. Ia hadir untuk menjaga kepentingan kelas dominan. Di konteks Indonesia, kita melihat bagaimana regulasi sering lebih cepat menyesuaikan diri dengan kebutuhan investasi ketimbang kebutuhan rakyat.

Bansos dibagikan, tetapi tambang dibuka. Infrastruktur dibangun, tetapi sawah digusur. Di balik janji kemajuan, Karl Marx mengajak untuk bertanya: “siapa yang betul-betul diuntungkan?”

Ketimpangan adalah Konsekuensi, Bukan Kecelakaan

Banyak yang berpikir bahwa kemiskinan adalah akibat dari kegagalan individu. Das Kapital mengatakan sebaliknya:

“ketimpangan adalah produk logis dari sistem.” Modal akan selalu mengakumulasi, dan yang tak punya modal akan semakin jauh tertinggal.

Bila di Indonesia hari ini, 1% penduduk menguasai lebih dari separuh kekayaan nasional, itu bukan karena mereka lebih rajin. Tapi karena sistem membiarkan –bahkan mendorong– itu terjadi.

Kapitalisme Butuh Krisis Agar Bertahan

Menurut Das Kapital, sistem ini tak bisa hidup tanpa krisis. Ia butuh pengangguran agar harga buruh tetap murah. Ia butuh utang agar konsumsi tak berhenti. Ia butuh konflik agar senjata terus diproduksi. Ia butuh tanah-tanah murah agar ekspansi tetap berjalan.

Dan jika krisis datang di Indonesia –entah lewat pandemi, resesi global, atau gagal bayar utang negara– yang paling dulu menderita adalah mereka yang bahkan tak pernah menikmati hasilnya.

Buruh Tanpa Nama, Produksi Tanpa Rasa

Marx menyebutnya _alienasi_ –ketika manusia kehilangan koneksi dengan apa yang ia ciptakan.
Di pabrik-pabrik garmen, buruh menjahit ribuan pakaian yang tak pernah mereka pakai. Di gudang-gudang digital, kurir mengantar paket tanpa tahu untuk siapa dan untuk apa.

Kerja tak lagi menjadi ekpresi diri, tetapi rutinitas kosong demi bertahan hidup. Manusia menjadi perpanjangan mesin. Karl Marx bertanya: “bagaimana mungkin kita bisa merasa utuh?”

Barang Bukan Lagi Kebutuhan, Tetapi Ilusi
Dalam sistem kapitalisme, barang tidak lagi diproduksi untuk memenuhi kebutuhan manusia, melainkan untuk menciptakan kebutuhan baru yang tak pernah selesai. Iklan, gaya hidup, dan kompetisi sosial; bekerja membentuk rasa kurang, rasa ingin, dan rasa tidak cukup.

Di pusat-pusat perbelanjaan kota besar Indonesia, kita bisa melihat wajah kapitalisme yang bersolek: seolah semua tersedia untuk semua orang. Padahal, yang terjadi hanyalah kemasan ilusi, dimana identitas dibentuk dari merek, bukan dari makna.

Tanah, Modal dan Hantu Enklosur Baru

Di Inggris abad ke-18, Karl Marx menulis tentang _enclosure_ –proses pengambilan tanah rakyat untuk jadi milik ptibadi. Hari ini kita menyebutnya dengan: reklamasi, food estate, atau Ibukota Negara.

Nama boleh berubah. Namun logikanya tetap sama: tanah dipisahkan dari masyarakatnya, demi keuntungan yang hanya bisa dinikmati mereka yang memegang kuasa. Dan Rakyat? Disuruh bersyukur atas pembangunan yang merampas tempat tinggal mereka sendiri.

Pendidikan sebagai Pabrik Harapan

Di bawah kapitalisme, sekolah bukan tempat membentuk manusia, melainkan mencetak tenaga kerja. Maka wajar jika ijazah dihargai lebih dari pemahaman, dan jurusan dipilih berdasarkan gaji, bukan gairah.

Das Kapital menunjukkan bagaimana relasi produksi merembes ke sistem pendidikan. Di Indonesia, kita melihat Universitas menjelma pasar: ada branding, ada promosi, ada biaya yang terus naik. Anak-anak diajarkan bercita-cita setinggi langit, tapi kemudian disuruh melamar kerja dengan CV yang “menjual.”

Kemerdekaan Diukur dari Konsumsi
Dalam narasi negara, pertumbuhan ekonomi menjadi tolak ukur utama keberhasilan. Das Kapital mengajukan pertanyaan:

“pertumbuhan untuk siapa?” Jika PDB naik, tapi daya beli stagnan, apakah itu disebut kemajuan?

Di Indonesia, rakyat sering diberi angka, tapi tidak diberi makna. Kapitalisme membuat kita merasa seolah merdeka karena bisa memilih barang. Tetapi, seperti kata Marx, bila pilihan hanya sebatas jenis kopi di aplikasi pemesanan, kita belum sungguh-sungguh bebas.

Konklusi

Indonesia hari ini bukan hanya sebatas tentang siapa yang bekerja dan siapa yang menguasai. Namun soal bagaimana logika kapital telah menyusup ke cara kita mencintai, belajar, bahkan bermimpi.

Ketika dibaca di Indonesia, buku ini tidak lagi hanya soal sejarah ekonomi Eropa. Ia menjadi refleksi sehari-hari: tentang gaji yang tak cukup untuk hidup layak, tentang sekolah yang mencetak tenaga kerja alih-alih manusia merdeka, dan tentang negara yang terlalu akrab dengan korporasi.*Penulis adalah Hamlet Subekti
———-
_Kota Atlas, HAM, 15.08.25_