Saya tak tahu bahwa saya akan dilahirkan menjadi seorang pengacara, bahkan ketika masih duduk di bangku SD dan SMP, saya juga masih belum tahu, akan menjadi pengacara. Inilah yang namanya garis tangan.
Setelah menjadi seorang pengacara, rupanya dunia pengacara punya dunia tersendiri. Banyak sekali, kejadian-kejadian atau suka duka yang dialami seorang pengacara.
Bila tidak saya tuliskan, barangkali tidak ada kenangan atau manfaat, yang bisa dipetik oleh orang lain. Lalu yang tahu, hanyalah saya sendiri. Tatkala saya mati dan jasadnya dikubur, maka pengalaman itu ikut terkubur bersama jasadnya. Musnah ditelan bumi.
Selama menjadi pengacara. Banyak kisah yang saya alami, dan jika ada waktu luang, saya akan tuliskan satu persatu. Membela satu perkara, mendapatkan satu pengalaman. Barangkali tulisannya bisa bermanfaat. Terutama bagi yang membacanya.
Ketika saya masih duduk di bangku SMP. Ada seorang guru saya bercerita di depan kelas. Guru itu berkacamata tebal dan bercerita di depan kelas.
“Kalian sebagai siswa-siswa harus rajin membaca”
“Membaca akan mendapat pengalaman dari orang lain. Tak perlu, kalian alami sendiri”
“Ketika kalian membaca tulisan, bahwa orang jatuh dari pohon kelapa, tangannya patah”
“Maka tak perlu, kalian mengalami jatuh dari pohon kelapa”
“Tapi kalian sudah tahu, jatuh dari pohon kelapa tangannya bisa patah” tukas guru ini.
Nah, kini saya akan bercerita, kisah saya membela suatu kasus rumah tangga di pengadilan, puluhan tahun yang lalu. Saat itu, saya baru menjadi pengacara. Masih muda, lugu dan pakai dasi. Ketika perkara seorang suami menggugat cerai terhadap istrinya.
Kemudian hakim memanggil suami istri itu ke dalam ruangannya. Saya mendampingi istrinya, dan berdiri disamping istrinya. Sementara, suaminya didampingi seorang pengacara wanita, pengacara itu juga berdiri disamping suami itu.
Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Lantas, hakim belum sempat bicara, sang istri berbicara duluan dengan suara keras:
“Pak Hakim, kalau pak hakim ceraikan saya, saya akan bunuh diri” hakim terkejut.
Lantas sang suami pun, tak mau kalah dan berkata:
“Pak hakim, kalau pak hakim tidak ceraikan saya, saya yang akan bunuh diri” hakim tambah terkejut.
Sepontan, istrinya langsung lari keluar dari ruang hakim, dan menyetir mobilnya pulang ke rumah. Besoknya, saya dapat berita, istrinya coba bunuh diri dengan minum pil kina. Untunglah ia tidak mati.
Dari kasus ini, kita dapat memetik hikmah, bahwa antara suami istri dalam rumah tangga, perlu saling menghargai perbedaan pendapat. Biarkanlah perbedaan pendapat itu bagai air sungai mengalir. Asal tak sangat fatal. Uang tidak menjamin, bahwa sebuah rumah tangga selalu bahagia.
Jakarta, 8 Juli 2021
KURNIANTO PURNAMA, SH, MH.