Kami jalan-jalan ke toko furniture di Alam Sutera Serpong, Tangerang pada suatu hari.
Putriku berkata:
“Pa…Ini ada buku Max Havelaar”
Lalu aku melihat dan membaca sejenak. Buku aslinya bahasa Belanda. Dan tebalnya sekitar 250 halaman Buku ini jenis novel. Lantas aku pun memotret buku ini.
Terus aku bertanya:
“Apa perbedaan Douwes Dekker dengan Multatuli?”
Putriku menjawab:
“Douwes Dekker dengan Multatili orangnya sama pa”.
“Rupanya putriku, yang sedang mengambil S3/ Phd Psikologi di Univesiti Malaya juga ingat sejarah.
Belasan tahun yang lalu, aku pernah ditanya oleh teman-teman dari perkumpulan penulis Indonesia Tionghoa.
“Kurnianto…nama pena kamu apa?”
Aku bilang:
“Aku tak punya nama pena”.
“Oh gitu ya….karena biasa penulis punya nama pena” tutupnya.
Tentu kita sebagai anak bangsa, ingat nama Multatuli bukan? Nah, itulah nama pena Edward Douwes Dekker. Ia adalah seorang penulis novel bangsa Belanda. Novel _Max Havelaar_ adalah karya beliau yang terbit 1860. Max Havelaar atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda.
Novel ini sangat dihargai di Indonesia, karena menceritakan nasib buruk rakyat Indonesia yang disuruh penjajah Belanda untuk tanam kopi di Jawa. Dikenal “Tanam Paksa” yang menindas rakyat Indonesia ini.
Novel ini juga bercerita kisah Saijah dan Adinda yang begitu menyentuh hati para pembaca.
Buku _Max Havelaar_ terbit 50 tahun lebih dulu daripada buku _Habis Gelap, Terbitlah Terang_ yang terbit 1911. Dua-duanya terbit di Belanda.
Novel _Max Havelaar_ ini ada versi bahasa Indonesia yang diterjemahkan oleh HB Jassin.
Jakarta, 21 April 2021
Kurnianto Purnama, SH,MH.