Memaknai Gender Dalam Ruang Eksistensial Perempuan Muhammadiyah

Salah satu isu public yang pernah menjadi isu paling seksi sepanjang lebih dari satu dekade terakhir adalah isu gender, sebuah isu yang ditandai dengan  gerakan  masiv equal right feminism yang memperjuangkan persamaan hak perempuan dan laki-laki.

Hampir seluruh belahan bumi ini terasa ramai oleh diskusi, seminar, perdebatan dan perang opini, atau sekedar komentar tentang gender.

Para akademisi dari berbagai bidang ilmu, ekonomi, psikologi, antropologi, kedokteran bahkan agama dengan berbagai perspektifnya seperti fiqih, tasawuf, filsafat dan lain-lainnya, ramai menyoal tentang ruang dimana perempuan mestinya melaksanakan modus eksistensial kekhalifahannya di muka bumi ini, di ruang domestic atau kah di ruang public.

Sebagian berpendapat bahwa ruang domestic adalah ruang yang paling tepat bagi perempuan untuk mewujudkan eksistensinya di dalam kehidupan, sedangkan ruang public adalah ruang eksistensialisasi diri laki-laki.

Pendapat yang kemudian menjadi musuh gerakan equal right feminism ini diduga sebagiannya berawal dari identifikasi pelabelan perempuan dengan stereo type yang cenderung merendahkan perempuan. Dan sebagian lagi berasal dari persepektif tafsir atas teks-teks agama yang kemudian menimbulkan bias gender.

Dari kedua sumber stigma negative tersebut, perempuan diidenfikasi sebagai makhluk yang secara fisik dan mental lemah, emosional, sentimental, dan lain-lain, sehingga dengan sifat-sifat dan karakteristiknya itu mereka lebih pantas berada di ruang domestic, menjadi obyek nafkah, diatur, dipimpin, disubbordinasi di bawah supremasi laki-laki dan dimarginalkan sehingga mereka tidak dapat mengakses ruang belajar, ruang kerja dan ruang pengabdian di ranah public secara luas.

Para aktivis gender, para pejuang feminism dengan garang menolak pandangan male-biased itu, mereka memandang alangkah sengsara dan mengenaskan nasib perempuan yang didomestickan menjadi pekerja dapur, mencuci, menyapu dan mengurus keperluan anak-anak dan suami mereka. Mereka terbelenggu dalam rutinitas tanpa regulasi penghasilan dan jenjang karir yang tak menentu. Para pejuang kesetaraan (equal feminism) cenderung memandang dengan sebelah mata terhadap peran tradisional perempuan di ruang domestic, menurut mereka pekerjaan rumah tangga bagi perempuan adalah bentuk penjajahan dan perampokan hak-hak kebebasan perempuan.

Di tengah arus gerakan feminism tersebut para feminis muslim yang cenderung mendekati masalah gender secara teologis normative terbelah menjadi 2 arus pandangan.

Pertama, gerakan feminis muslim yang berusaha men-setara-kan perempuan dengan laki-laki. Walaupun secara seksual perempuan dan laki-laki berbeda tapi secara social, hak-hak eksistensial mereka harus sama dan setara, karena mereka meyakini bahwa peran gender adalah hasil dari konstruksi social yang bisa dibangun dan dirubah sesuai dengan azaz-azas keadilan.

Kedua, adalah gerakan yang berusaha menjelaskan bahwa secara kodrati perempuan dan laki-laki adalah berbeda secara fisik dan juga memiliki fungsi seksual yang berbeda, namun perbedaan bawaan tersebut tidak bisa dipakai sebagai justifikasi diskriminatif atas keduanya atau untuk saling mendominasi secara khirarkis, tapi sebaliknya untuk saling melengkapi satu sama lainnya dengan fungsi yang berbeda.

Dalam konteks Indonesia, cara pandang jenis kedua yang tidak mempertentangkan kedua ruang (domestic/ public) tersebut sesungguhnya telah lahir jauh sebelum Indonesia merdeka, bahkan telah ada sejak Islam masuk ke Indonesia menjadi pedoman hidup yang diyakini oleh umat Islam. Setidaknya hal ini tercermin salah satunya dalam kiprah juang persyarikatan Muhammadiyah yang menjadikan Al-Qur’an dan Al-hadits sebagai dasar dan falsafah perjuangannya.

Sejak awal berdirinya persyarikatan Muhammadiyah telah memberikan ruang bagi perempuan yang secara diametral tidak memperhadapkan perempuan dengan laki-laki dalam oposisi biner yang saling menegasikan. Muhammadiyah sebagai gerakan yang berkemajuan tidak mengidealisasi satu ruang eksistensial dan memandang rendah ruang yang lain tetapi memandang dan menempatkan perempuan sesuai ajaran Islam yang berkeadilan, dimana perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam memaknai peran dan fungsi-fungsi kekhalifahannya.

Dengan landasan ideologis Islam yang rahmatan lil a’lamiin, pada tahun 1335 H, bertepatan 19 Mei 1917 M, Kyai Ahmad Dahlan sebagai pimpinan Muhammadiyah membentuk organisasi Aisyiyah sebagai pasangan perjuangan Muhammadiyah untuk menyampaikan gagasan-gagasan pembaruan kepada perempuan, terutama yang berkaitan dengan kepentingan pemberdayaan perempuan.

Sejak awal berdirinya Aisyiyah dikemas untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang kesetaraan perempuan dengan laki-laki dalam ranah keagamaan maupun social.

Dengan Aisyiyah beserta program-program dan amal usahanya yang terus berkembang saat ini, secara tidak langsung membantah pandangan yang merendahkan posisi perempuan terhadap laki-laki sekaligus menjadi legitimasi penting bagi ruang eksistensial perempuan di ranah public.

Sebagai organisasi yang memegang teguh prinsip-prinsip Islam berkemajuan, maka untuk menjamin keseimbangan peran eksistensial tersebut baik dalam ruang public dan domestic, pada tahun tahun 1972 dalam muktamar ke XVII di Pencongan Majlis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah mengeluarkan putusan Tarjih yang kemudian menjadi landasan normative dan teologis bagi gerakan perempuan Muhammadiyah (Aisyiyah). Himpunan putusan Tarjih ini kemudian diberi nama “Adabul mar’ah Fil Islam”.

Dalam kitab inilah batasan-batasan peran perempuan diatur secara komprehensif. Dalam ruang domestic diatur adab dalam rumah tangga, pergaulan perempuan bersuami isteri, adab yang mengatur hubungan dengan orang tua, mendidik anak-anak, cara berpakaian , menuntut ilmu, dan juga mengatur adab dengan sesama manusia di ruang publik yang menyangkut hubungan social budaya, politik dan ekonomi.

Dengan paparan di atas dapat dimaknai bahwa ruang eksistensial perempuan Muhammadiyah adalah ruang yang memberikan pilihan pada pentingnya sebagian perempuan untuk berada dalam ruang domestic dan memaknai perannya itu secara produktif, dan atau  memilih peran di ruang public dimana mereka dapat membangun eksistensinya secara efektif dan kreatif sesuai dengan norma adabul mar’ah fil Islam yang berkemajuan.*)

*)Rabiul Adawiyah MA/Penulis adalah mahasiswa Prodi PAI Doktoral di Universitas Muhamamdiyah Malang