INDONESIA BAGAI KAPAL KANDAS, AKIBAT HUKUM YANG DIBUATNYA SENDIRI

Suatu rancangan undang-undangan yg masih dibahas di DPR, masih dalam ranah atau wilayah politik. Maka sering terjadi, tarik menarik di antara partai politik di DPR. Ada partai yang setuju dan ada yang tidak setuju.

Yang tidak setuju, belum tentu karena Rancangan Undang-Undang itu tidak baik. Sebab partai yang tidak setuju, jika mereka masuk ke koalisi pemerintah, akan setuju juga.

Seringkali partai yang tidak setuju, menggunĂ kan kesempatan ini mencari popularitas dan kesempatan untuk menyudutkan pemerintah. Inilah dinamika politik di negara demokrasi.

Tujuan dibuatnya undang-undang ini adalah untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa Indonesia. Supaya pembangunan dapat berjalan lancar.

Lantaran selama ini, banyak produk hukum yang saling tumpang tindih. Maka diperlukan sebuah undang-undang yang bisa mencabut beberapa UU yang saling tumpang tindih ini. UU jenis ini dinamakan “Omnibus Law”.

Lalu pemerintah memberi judul undang-undang ini dengan judul “Undang-Undang Cipta Kerja”. Kemudian disahkan menjadi Undang-Undang pada 5 Oktober 2020.

Maka sejak disahkan. Undang-undang yang awalnya politik menjadi hukum. Dan setiap warga negara wajib mentaatinya.

Bila ada pasal-pasal dalam undang-undang ini yang bertentangan dengan UUD 1945, bisa diuji ke Mahkamah Konstitusi.

Kita tidak perlu melakukan demo, yang rentan terhadap penularan Covid 19 saat ini. Karena dalam demo tidak jelas, pasal-pasal mana yang diprotes. Mengingat UU ini terdapat ribuan pasal di dalamnya.

Mengingat rancangan undang-undang ini sampai disahkan menjadi undang-undang, tentu melalui tahapan proses yang panjang. Seperti tinjauan akademis, pendapat ahli, sinkronisasi dan sebagainya. Dan tujuannya untuk memperbaiki kesalahan sebelumnya. Maka manfaatnya akan lebih banyak daripada mudaratnya.

Memang selama ini, pembangunan Indonesia tidak bisa bergerak maju, lantaran disebabkan hukum yang dibuatnya sendiri. Indonesia bak sebuah kapal, yang kandas ditengah-tengah hukum yang dibuatnya sendiri. Sebagai akibat demokrasi yang kebablasan.

Jakarta, 6 Oktober 2020
Kurnianto Purnama, SH,MH.