Sebagai efek dari politik-tarnsaksional, maka ruang demokrasi pun kadang disandera dengan berbagai kepentingan, dan mungkin juga karena saling melakukan “berter kepentingan” siapa mendapat apa, bukan lagi sesuatu yang klasik tetapi seakan sudah menjadi gimmick politik. ppergeseran paradigm pemerintahan pun sulit dihindari mengingat begitu banyaknya janji-janji politik yang perlu ditunaikan.
Gerakan sosial diberbagai tempat adalah bentuk pressure group untuk mengingatkan kekuasaan atas janjinya. Rentetan konflik horizontal akibat pembagian kekuasaan yang tidak merata membuka ruang besar bagi terjadinya kompromi politik anta relit politik. katakanlah, daerah yang subur yang punya potensi sumber daya alam yang melimpah terkesan menerima ketidakadilan akibat disparitas sosal-ekonomi yang tajam antara pusat dan daerah. Dan Otonomi daerah berdasarkan UU 32 tahun 1999 seperti “akan” menjawab semua tuntutan itu, termasuk memenuhi keinginan secara politis seperti Aceh yang ingin merdeka, Sulawesi yang negara federasi, Papua yang ingin otonomi khusus, hingga meluas pada pemekaran daerah, baik itu ditingkat propinsi, kabuoaten/kota, kecamatan, dan desa. Fenomena tersebut sepertinya sulit dihindari.
Berbagai perdebatan memunculkan beragam perspektif dan kecurigaan terhadap tuntutan daerah untuk meminta pemekaran daerah dengan alih-alih ketimpangan ekonomi dan pembangunan. Tentang moratorium pemekaran daerah kian mengalami polemik yang tajam, ada yang mengatakan bahwa moratorium pemekaran tahun ini akan dicabut, tetapi disatu sisi beberapa anggota DPD RI sebagai representasi perjuangan daerah justru mengatakan bahwa moratorium tetap harus dibuka dan hal ini disampaikan oleh Abdul Rahman Thaha salah seorang Anggota DPD RI di Palu, beliau sampaikan kalau pemerintah memberikan ruang Otonomi Baru bagi Papua, maka pemerintah juga harus membuka moratorium pemekaran wilayah lainnya. Jadi sama sekali untuk pemekaran itu adalah penting mengingat tingkat efektifitas pengelolaan pemerintah daerah yang lebih efektif dan efesien.
Sejak diimplementasikannya kebijakan otonomi daerah (berdasarkan UU No 22/1999) telah diikuti dengan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota. Data menunjukkan bahwa daerah-daerah yang sudah dimekarkan selama lima tahun terakhir setidaknya berjumlah 128 untuk kabupaten/kota dan enam provinsi. Semua daerah yang dimekarkan itu diproses secara politik yang diusulkan oleh daerah melalui Mendagri dan DPR dengan memperoleh legitimasi dari DPOD (Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah) sebagai lembaga yang dikonsepsikan bersifat independen, kendati praktiknya sering menimbulkan tanda tanya.
Sekarang ini, sejumlah usulan pemekaran kembali muncul dan disampaikan langsung kepada DPD baik melalui proses penyerapan aspirasi masyarakat di daerah-daerah maupun disampaikan secara langsung di kantor DPD di Senayan, Jakarta. Dikabarkan pula bahwa sejumlah usulan sudah pula disampaikan ke Departemen Dalam Negeri (Depdagri), termasuk di dalamnya sisa usulan pada periode pemerintahan dan parlemen yang lalu (1999-2004). Pihak Depdagri juga telah menugaskan DPOD untuk turun ke daerah-daerah yang mengusulkan pemekaran itu, tanpa terlebih dulu melakukan koordinasi dan atau konsultasi dengan DPD.
Terasakan sekali bahwa paradigma Depdagri masih seperti sebelumnya, yakni menjadikan DPOD sebagai instrumen legitimasinya, sangat membutuhkan keberadaan DPOD. Sesuai dengan UU No 32/2004 (Bab VI, Pasal 168-173), memang, DPOD mempunyai kewenangan berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah. Tetapi harus ditegaskan di sini bahwa karena tugas DPOD (masa lalu) sama berkaitan dengan pertimbangan penggabungan dan pemekaran daerah, maka setelah DPD terbentuk (hasil Pemilu 2004) maka memfungsikan kembali DPOD harusnya Mendagri terlebih dulu melakukan konsultasi atau koordinasi dengan DPD.
Bila kita mengkaji mengapa daerah perlu dimekarkan, dari berbagai usulan yang ada menunjukkan alasan-alasan yang bervariasi.

Pertama, dikaitkan dengan rentang kendali suatu wilayah daerah yang dianggap terlalu luas, sehingga untuk mendekatkan pihak pengambil kebijakan (yang bertempat di ibu kota pemerintahan daerah) dengan masyarakat, dipandang perlu menghadirkan suatu institusi dan struktur pemerintahan daerah baru. Alasan ini terkait dengan upaya meningkatkan kualitas pelayanan pemerintah daerah terhadap masyarakatnya.
Kedua, dalam rangka menciptakan pemerataan pembangunan, karena kenyataannya konsentrasi kegiatan dan pertumbuhan pembangunan (ekonomi) selalu berada di ibu kota pemerintahan daerah dan wilayah sekitarnya. Sementara semakin jauh dari ibu kota daerah maka akan semakin tertinggal pula daerah itu, sehingga para elite dari masyarakat yang berada di daerah yang tertinggal itu berupaya untuk menghadirkan pemerintahan tersendiri.
Ketiga, dan ini sering tidak diungkap sebagai alasan tertulis, adalah upaya untuk bagi-bagi kekuasaan di tingkat lokal. Perputaran elite di tingkat yang begitu lambat, bahkan sejumlah elite daerah yang sudah keenakan di kursi kekuasaan dan jabatan, terus mempertahankannya dengan berbagai cara, sehingga muncul kecemburuan dari para elite lain yang juga haus kekuasaan. Konflik di antara para elite lokal itu dalam memperebutkan kekuasaan dan jabatan sering tak bisa dihindari, termasuk di dalamnya melibatkan rakyat (arus bawah) dalam wujud konflik horizontal (antara lain terbukti pada kasus Mamasa, Sulawesi Selatan, dan Morowali, Sulawesi Tengah). Akibatnya, dengan berbagai cara pula berupaya memekarkan daerah sehingga bisa memperoleh jabatan atau kekuasaan di daerah baru itu. Apalagi bagi mereka yang sudah berjasa dalam memperjuangkan daerah pemekaran, sudah memposisikan diri sebagai pihak yang harus dapat bagian jatah kursi jabatan atau politik dan kekuasaan di daerah baru itu.
Menarik namun ironisnya daerah-daerah yang dimekarkan maupun yang tengah diusulkan untuk memperoleh persetujuan pemekaran ini adalah penonjolan dari segi kelayakan administratif semata. Sementara dari segi kemampuan ekonomi atau potensi ekonomi yang memungkinkan daerah itu secara relatif mandiri (yang diwujudkan dalam PAD dan atau dana bagi hasil), sering diabaikan, dan atau dilakukan dengan kecenderungan gaya manipulatif sehingga bisa dilihat di atas kertas sebagai layak. Tampak sekali, ambisi untuk melakukan proyek pemekaran adalah pihak Depdagri dan atau juga pihak DPR dengan menggunakan hak usul inisiatifnya yang memperoleh persetujuan pemerintah. Makanya, tidak heran, dalam operasionalisasi pemerintahan dan pembangunan di daerah-daerah yang baru dimekarkan, umumnya, memiliki ketergantungan mutlak pada pendanaan dari pemerintah pusat dengan berbagai caranya.
Perlu dicatat adalah bahwa baik dari segi alasan pemekaran seperti yang sudah dijelaskan di atas maupun tujuan substansi eksistensi dan pengelolaan pemerintahan daerah otonom, tidak selalu harus dijawab dengan ‘harus adanya pemekaran’. Justru dengan adanya pemekaran akan terjadi kecenderungan kontraktif dengan tujuan pengelolaan daerah otonomi dan desentralisasi sendiri. Mengapa?
Pertama, pemekaran daerah umumnya hanya merupakan perluasan struktur yang diperebutkan oleh para elite dengan konsekuensinya berupa pembiayaan yang begitu besar yang diorientasikan pada pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan pemerintahan lokal (infrastruktur), pembiayaan aparat pemerintahan daerah (eksekutif, DPRD, dan lain-lain).
Kedua, tujuan desentralisasi pengelolaan pemerintahan yang diimplementasikan dalam kerangka otonomi daerah adalah dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan masyarakat (dengan mendekatkan jarak antara pengambil kebijakan dengan yang masyarakat sebagai pihak harus dilayani), dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat, yang dikelola dengan cara-cara demokratis.
UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah memang masih membuka ruang untuk kembali dilangsungkannya proyek pemekaran daerah. Dengan dasar itu pula, barangkali, pihak Depdagri kembali menyahuti usul-usul pemekaran, apalagi memang masih ada sejumlah usulan yang diterima pada periode pemerintahan sebelumnya. Kenyataan ini memang merupakan dilema atas realitas pemekaran atau usulan pemekaran daerah dengan fungsi desentralisasi-otonomi daerah sendiri, yang memerlukan kearifan dari para pengambil kebijakan untuk secara hati-hati dalam meresponsnya.
Pertama, diperlukan pengkajian ulang terhadap semua daerah yang sudah dimekarkan. Dengan pengkajian ulang, setidaknya bisa diperoleh potret obyektif terhadap kondisi dan dampak daerah-daerah yang sudah dimekarkan itu.
Kedua, diperlukan payung hukum yang lebih objektif-rasional yang bisa dijadikan dasar untuk memproses, menyetujui atau menolak usul pemekaran, termasuk di dalamnya upaya penggabungan daerah.
Ketiga, diperlukan suatu bentuk inovasi pengelolaan pemerintahan lokal di mana tanpa pemekaran tujuan desentralisasi-otonomi daerah bisa dicapai. Prioritas kebijakan pembangunan agaknya harus diarahkan pada upaya membuka keterisoliran daerah-daerah yang wilayahnya luas dan tertinggal dan menjadikan institusi pemerintahan sublokal (kecamatan dan desa) lebih bisa menjadi pusat pelayanan masyarakat.
Pembangunan pusat pertumbuhan ekonomi tidak perlu dengan terlebih dulu memekarkan pemerintahan lokal, cukup dengan menciptakan perangsang sehingga aktivitas perekonomian masyarakat wilayah itu sehingga bisa lebih maju.
Jadi pada prinsipnya, pemekaran daerah adalah jalan politik yang dapat dilakukan oleh DPR untuk mendengarkan aspirasi masyarakat dengan mengesampingkan ego sektoral, ego kelompok, ego individual serta kecurigaan-kecurigaan yang tak berasalan, lalu disampaikan kepada DPD RI dan diteruskan kepada kementerian Dalam Negeri. Konsultasi publik demikian penting untuk mendengarkan aspirasi yang berkembang sembari mempelajari secara mendalam potensi-potensi daerah sebagaimana yang diamanhkan dalam undang-undang. Intinya pemekaran adalah jalan memutus mata rantai birokrasi yang begitu panjang, dan terpenting bagaimana satu daerah atau kabupaten bisa naik statusnya menjadi kota/kota madya sebagai centra pemerintahan yang bercirikan kemajuan.*(Tulisan pertama)/penulis : saifuddin al mughniy /Centrum Arete Institute.


















