Peristiwa politik kadang bisa menipu fakta politik itu sendiri. Proses politik selalu dianggap sebagai jembatan procedural dalam membangun sistem politik yang akuntable, transparan dan berkeadilan. Ternyata, slogan itu hanya sebatas isapan jempol sebab perilaku politik justru telah mencederai demokrasi dan kemanusiaan dengan cara-cara mempraktekkan politik mahar dalam membeli partai politik, serta politik uang kepada masyarakat agar ia dipilih. Terus, dimana substansi demokrasinya kalau dua fenomena saja telah “membunuh demokrasi”.
Fakta politik surutnya demokrasi dapat dilihat munculnya calon tunggal dalam Pilkada. Haryanto maju sebagai calon bupati tunggal berpasangan dengan Arifin sebagai calon wakil bupati di Kabupaten Pati Jawa Tengah yang diusung 8 partai politik. tentu hal itu bukan tanpa mahar dalam membeli partai politik sebagai pengusung. Modal politik harus besar, sehingga praktek jual beli parpol sudah bukan rahasia lagi. Fakta ini, setidaknya memberi warning, bahwa ada gejala demokrasi kita terpasung dalam senggama pemilik kekuasaan dan pemilik modal dibalik layar kekuasaan.
Pemilihan Kepala Daerah 15 Februari 2017 berjalan kondusif dan demokratis,tahun 2018 yang lalu, bisa dibilang bahwa semua calon tunggal memenangkan pertarungan, tetapi sangat jauh berbeda dengan Pilkada serentak 2018 yang lalu, fakta terburuknya adalah kemenangan kotak kosong di Pilwalkot Kota Makassar diangka 53,7 persen adalah tamparan keras bagi demokrasi kita. Melawan pemilik modal serta Partai Politik yang menjual diri dengan harga yang fantastis membuat parpol melek uang tapi tak melek nurani.
Setiap kontekstasi selalu dihinggap rasa curiga mencurigai, kabut kecurigaan bakal ada invasi kecurangan dalam pemungutan suara ternyata cuma isu belaka. Di Kupang, berdasarkan hasil hitung cepat, pasangan inkumben Jonas Salean-Nicolaus Fransiskus kalah dari Jefri Riwu Kore-Hermanus Man. Namun, inkumben langsung mengucapkan selamat dan mengakui kemenangan rivalnya setelah melihat posisi real count yang dilakukan tim TI-nya. “Kita tidak salahkan rakyat, kita sudah berusaha namun kalah secara terhormat,” ungkap Jonas (Timor Ekspress, ).
Pernyataan tersebut sungguh menyejukkan. Ada sikap legowo di tengah suasana kampanye sebelumnya yang panas. Padahal Jonas-Nicolaus didukung oleh partai besar: Partai Golkar, PDI-Perjuangan, Nasdem, Hanura, dan PKPI.
Yang tak kalah menarik, Kota Kupang oleh Bawaslu Pusat dinilai tidak termasuk sebagai daerah yang terindikasi pelanggaran berupa politik uang dalam pilkada kemarin (RRI, 17/2). Padahal, dengan kondisi masyarakatnya yang masih lemah secara ekonomi, peluang untuk terjadinya transaksi ekonomi-politik di momen politik seperti pilkada (Stokes, 2007) sangat terbuka dan sangat memungkinkan untuk dilakukan. Tetapi sebenarnya praktek Money Politic itu ada pada perolaku partai politiknya dan perilaku individu dari tim seksesnya untuk menyentuh masyarakat lewat uang.
Pilkada yang selama ini larut dalam stigma sebagai sebuah peristiwa ritual politik transaksional belaka (Kumorotomo, 2010), mulai perlahan-lahan bertransformasi dengan munculnya model ketulusan politik yang terutama dipancarkan oleh elite. Hal tersebut bak gayung bersambut dalam Pilkada DKI Jakarta. Meski sebelumnya rivalitas ketiga paslon begitu alot hingga menyeret hal-hal yang berbau SARA, dalam proses pemungutan suara hingga quick count, bayangan parokialisme yang dikhawatirkan justru tidak terjadi. Boleh dibilang ini titik balik demokrasi. Titik balik dari ketegangan politik yang sejauh ini telah mereproduksi berbagai isu miring, hoax, dan propaganda hitam yang membuat prospek Pilkada Jakarta khususunya sebagai barometer politik nasional sempat diwarnai pesimisme publik. Lihat saja, bagaimana simbol agama dieksploitasi menjadi komoditas politik seperti yang kita saksikan pada minggu-minggu menjelang pilkada lalu dengan residu amarah, maki-maki, tudingan, bak meriam liar menyasar sesama yang dianggap “musuh”. Tenun kebangsaan yang dikerjakan secara tekun oleh para penggagas bangsa ini sejak puluhan tahun lalu rasa-rasanya koyak tercabik.
Roh zaman (zeit geist) Pilkada Jakarta benar-benar diaduk oleh kerajaan tontonan (kingdom of spectacle) berupa pagelaran hipokritas, cercaan, hujatan, dan provokasi meluap-luap dari para pendukung konstestan yang tak lain hanya akan mengabadikan prasangka (perpetuate prejudice) dan pendangkalan moral (moral banality) serta berpotensi menjadi ancaman terhadap konsolidasi demokrasi. Di Jakarta, misalnya, hampir setiap detik bermunculan berita-berita baru di linimasa terkait isu pilkada yang semakin sulit dibedakan antara hoax atau fakta. Parahnya, berita-berita sensasional tersebut dirujuk pula oleh aktor-aktor intelektual, terpandang, berpengaruh, yang sengaja ikut “memanggangnya” di atas bara api inferior dan kecemasan kolektif masyarakat dengan membangun apologi menggunakan jurus-jurus kamuflasenya. Targetnya, menggalang dukungan sebesar-besarnya terhadap isi berita tersebut demi keperluan pembentukan opini publik.
Padahal, merujuk Sir Stafford Cripps, peradaban yang sejati, bahagia, dan bermoral tidak bisa dibangun di atas material yang jahat (arogansi, emosional, kebencian, dan hujatan). Agama dan demokrasi menurut Cripps bisa menjadi media konsolidasi dan berfungsi positif bagi masyarakat jika ia dilandaskan pada material baik (solider, toleran, damai, penuh kekeluargaan alias humanis).
Pilkada serentak 2017 sejatinya merupakan momentum strategis untuk menyusun basis material baik bagi kualitas dan kematangan berdemokrasi, termasuk membangun peradaban sosial-politik yang humanis. Untuk itulah, tidak tanggung-tanggung, kurang lebih Rp 4,2 triliun anggaran dikucurkan untuk membiayai perhelatan akbar pilkada serentak.
Lalu, apa yang mendorong proses pilkada ini relatif bisa berjalan baik dan kondusif?
Pertama, masih kuatnya komitmen publik terhadap demokrasi (McLeod dan MacIntyre, 2007). Kepercayaan rakyat terhadap demokrasi sebagai satu-satunya sistem yang dapat menjamin hadirnya pemerintahan yang merepresentasikan kepentingan rakyat masih terlihat kokoh sampai detik ini. Karena di dalam demokrasi, suara rakyat secara langsung menjadi faktor penting yang menentukan legitimasi kepemimpinan.
Dalam pilkada, daulat rakyat untuk menentukan pemimpin yang dipercayainya bisa membawa daerah menuju keadilan dan kesejahteraan, menjadi elemen penting yang mampu menyadarkan rakyat untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan memilih. Rakyat sadar hanya dengan menggunakan hak politiknya di TPS, pemerintahan yang anti-demokrasi ataupun yang tidak mampu menyejahterakan rakyat bisa terkoreksi.
Hal ini sudah dibuktikan di Pilkada Pati, Jawa Tengah. Sebagai daerah yang tergolong padat pemilih (hampir 1,5 juta pemilih), rakyat Pati hanya diberikan pilihan pasangan calon bupati-wakil bupati tunggal, yakni Haryanto-Saiful Arifin yang kemudian berhelat melawan kotak kosong. Hasilnya, rakyat lebih memilih kotak kosong dibandingkan paslon yang (mungkin) dianggap tidak berintegritas itu.
Kedua, kontestasi nilai demokrasi. Jack Snyder (2000:55) mengatakan, “tak satu pun mekanisme di antara demokrasi-demokrasi matang bekerja dengan cara yang sama di negara-negara yang baru saja berdemokratisasi. Bahkan, sebagian besar dari mekanisme-mekanisme itu bekerja berlawanan.” Artinya, nilai-nilai berdemokrasi (transparansi, persaingan berbasis meritokrasi, dan akuntabilitas) selalu memberikan tantangan dalam praktiknya untuk membuktikan kedewasaan berpolitik, seperti deklarasi siap menang-siap kalah yang dilakukan para kontestan di pilkada kemarin. Bagi para pemimpin daerah, pilkada merupakan momentum untuk mematut diri di depan cermin kekuasaan apakah kinerja mereka pada lima tahun sebelumnya telah sungguh membekas di hati rakyat karena berhasil memberikan implikasi nyata bagi perbaikan kesejahteraan rakyat, atau justru sebaliknya.
Menurut Jürgen Habermas (1985:15), pemimpin dalam era demokrasi tak bisa hanya mengandalkan kekuatannya pada kecakapan memelihara harapan, wacana, tapi juga mampu memprediksi dan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang berdaya antisipatif terhadap kompleksitas tantangan yang dihadapi rakyat demi kesejahteraan utuh. Atau dalam bahasa kearifan lokalnya Jacob Sumardjo (2014) dimaknai sebagai “sehat, kaya, dan masuk surga“. Semoga demokrasi kita tetap membahagiakan dan melahirkan sosok pemimpin yang membawa kejalan kedamaian. Sebab itulah ruh dari demokrasi. ***
Penulis, saifuddin al mughniy, (Centrum Arete Institute, Anggota Forum Dosen Indonesia, Penulis buku).