Dalam tulisan ini ada tiga kata yang tentu memiliki makna yang berbeda. Pemimpin, kritis dan krisis. Ketiga diksi ini memiliki tiga alur dan pemahaman yang berbeda tetapi tetap tak terpisahkan satu sama lainnya. Pemimpin adalah terkait orang atau individu, yakni seseorang yang mampu memberikan pengaruh dengan orang lain.
Kritis, bukan hanya pikiran atau sikap seseorang terhadap satu masalah yang ada, terkait obyek yang dipersoalkan. Daya kritis, dalam sejarah pengetahuan telah muncul dalam alam filsafat yunani, dialektika selalu mewarnai percakapan para filsuf. Bagaimana Plato yang selalu mengkritisi pikiran Socrates sekalipun gurunya. Sehingga perkembangan ilmu pengetahuan di Frankfurt Jerman muncul mazhab kritis yang dipelopori Mark Hokkeimer, Adorno dan lain sebagainya.
Daya kritis dibangun sebagai pengingat sekaligus penyeimbang “kekuasaan politik”, dimana raja, bangsawan istana, harus mendapat asupan kritis dari luar. Suara publik adalah penanda bahwa—kritik tetap harus ada.
Dalam teori politik disebutkan, bahwa salah satu kaum yang anti kritik adalah bangsawan. Jadi analoginya ; kalau ada pemerintah atau anggota dewan yang anti kritik—sungguh ia bukanlah politisi, tetapi ia adalah golongan bangsawan. Dalam sosiologi ada yang disebut patron klien—politisi dari orang biasa, lalu disebut sebagai yang terhormat dan mulia, maka ia pun bukan politisi tetapi ia adalah bangsawan baru.
Karena itu disituasi krisis—maka pikiran kritis dari pemerintah harus ada—paling tidak memeping setiap tahap masalah. Ketakutan kita kalau kemudian pemerintah kehilangan sense of crisis (semoga itu tidak terjadi). Atau kehilangan “crisis kritis”, ini fenomena yang paling mengerikan.
Sebab karena itu, daya kritis pemerintah perlu dibangun untuk dapat mengurai daya crisis yang ada.
Karena pikiran kritis satu penanda bahwa manusia itu ada.
# Catatan_Malam
dari sejarah kita mengenal