TANJUNGPANDAN: Di bulan April, kamu pasti langsung terpikirkan nama R.A Kartini. Ia adalah pahlawan nasional yang juga menjadi pelopor bangkitnya wanita di Indonesia. Dan tentu saja bukan hanya itu, kartini-kartini dari zaman ke zaman bahka dari tahun ke tahun, muncul di tengah-tengah masyarakat.
Dulunya sosok Kartini hanya menjadi ibu rumah tangga, namun saat ini wanita-wanita Indonesia sudah banyak yang masuk ke ranah pekerjaan sosok laki-laki. Mulai dari Pejabat, hingga Artis maupun berprofesi wartawan, beraneka ragam, sopir, pegawai negeri, dan lain-lain.
Nama Herawati Diah tampak asing bagi sebagian warga belitung,wanita ini tidak setenar seperti yusril ihza mahendra atau darmansyah husein maupun andrea hirata.
Seperti yang dialami sosok Tokoh pers Indonesia, Herawati Diah. Wanita kelahiran Tanjungpandan Belitung 3 April 1917 ini merupakan istri dari tokoh pers yang juga mantan Menteri Penerangan RI, BM Diah. Ketika sudah berkeluarga, Herawati Diah tidak hanya mendampingi suami di dalam tugas, namun menjadi sosok kartini.
Herawati Diah merupakan salah satu pelaku sejarah kemerdekaan Indonesia dan peletak dasar jurnalisme di Indonesia. Jasa beliau luar biasa dalam membangun pers Indonesia dengan meletakkan dua pondasi utama, yaitu nasionalisme dan profesionalisme
Seperti dikutip dari Wekipedia, terlihat karirnya merentang mulus selama masa hidupnya. Herawati mengawali pendidikannya di Europeesche Lagere School di Salemba, Jakarta. Kemudian dia bersekolah ke Tokyo, Jepang, untuk menimba ilmu di American High School.
Atas dorongan ibunya, Herawati berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar sosiologi di Barnard College yang berafiliasi dengan Universitas Columbia, New York, dan lulus di 1941.
Bersama BM Diah, Herawati mengembangkan Harian Merdeka yang didirikan suaminya pada 1 Oktober 1945. Secara pribadi.
Herawati juga mendirikan dan memimpin The Indonesian Observer, koran berbahasa Inggris pertama di Indonesia. Koran itu diterbitkan dan dibagikan pertama kali dalam Konferensi Asia Afrika pada 1955 di Bandung, Jawa Barat. The Indonesian Observer bertahan hingga tahun 2001, sedangkan koran Merdeka berganti tangan pada akhir tahun 1999.
Di bawah Grup Merdeka, kedua insan pers ini mendirikan Mingguan Merdeka (1947), Majalah Keluarga (1952), dan majalah berita Topik (1972).
Pada era reformasi, di 1998 Herawati mendirikan Gerakan Perempuan Sadar Pemilu untuk memberikan pendidikan politik pada perempuan, bahwa memilih harus dilakukan berdasarkan pilihan hati nurani, bukan karena desakan orang lain.
Seiring waktu, organisasi ini berubah menjadi Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan.
Tentu saja, bertemu dengan Herawati memang terasa seperti menjumpai ensiklopedi dunia pers Indonesia. Ia hafal betul tentang sejarah jurnalistik tanah air.
Maklum, di samping pelaku, ia juga mengalami berbagai tonggak perjalanan pers selama tiga dekade. Menurutnya ada perbedaan mendasar ketika bicara pers dulu dan sekarang.
Ia menyebut kerja jurnalistik arahnya mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa. Namun kini cita-cita itu serasa berubah. Seperti zamannya, pers memang menjadi industri, dan tentu juga berkaitan dengan kepentingan industri.
Kini Herawati diah telah tiada tetapi semangat perjuangan almarhumah banyak menginsfirasi perempuan indonesia.
(Foto: Sehat Alami.co)
This is very interesting, You’re a very skilled blogger. I’ve joined your rss feed and look forward to seeking more of your great post. Also, I have shared your web site in my social networks!
I do not even know how I ended up right here, but I believed this submit was good. I do not recognise who you might be however definitely you are going to a famous blogger if you are not already 😉 Cheers!
I’ve been surfing online more than three hours today, yet I never found any interesting article like yours. It’s pretty worth enough for me. In my view, if all site owners and bloggers made good content as you did, the net will be much more useful than ever before.