PURA-PURA MISKIN

Makna kata pura² secara terminologis lebih dilekatkan pada–makna modus atau istilah kedok. Dalam perspektif agama sangat dikenal dengan sebutan (mungkin) munafikun. Dalam pandangan psikologis bisa dibilang—sebuah perilaku yang menyimpang dari sifat dasar (azali) dari seseorang dalam upaya memberi pengaruh pada orang lain.

Sementara kata miskin bukanlah kata yang bersifat statis, sebab miskin itu adalah suatu keadaan tertentu dari seseorang. Dalam pandangan teologis disebut kaum mustad’afin (kaum lemah), dalam aliran kritis disebut kaum marginal—kalau ia memberontak maka disebut kaum bedebah.

Miskin tidak identik dengan harta dan kekayaan. Orang bodoh tak belajar maka ia menjadi miskin ilmu. Pejabat tapi tak peduli rakyatnya maka ia miskin nurani.

Disituasi tertentu kadang muncul fenomena yang anomali—pura² miskin. Ada orang kaya karena situasi tertentu menjadi pura² miskin, berharap ada sumbangan—tak berharap ia berempaty kepada orang lain. Ini bisa disebut orang kaya yang kehilangan sense of humanity (hilang rasa kemanusiaan).

Penguasa atau pejabat kadang juga kita temukan, sebelum ia menjadi pejabat pagar rumahnya terbuka 24 jam—ia kadang tampil sebagai pengemis ke masyarakatnya agar ia dipilih. Semua potensi dirinya ia kerahkan hanya untuk meraih suara rakyatnya. Saat ini semua berubah—sang pejabatpun pura² miskin. Pilihan menjadi pura² miskin adalah satu perilaku menghindari ibadah sosial dengan cara berbagi ke masyarakatnya.

Di era pendemi covid 19 yang bersamaan dengan bulan ramadhan, tentu kesalehan individu dan kesalehan sosial sangat dibutuhkan. Tanpa masyarakat memintanya sepanjang sense of crisis itu tetap ada.

Sehingga Michel Foucault pernah bilang, kekuasaan itu adalah penderitaan. Sehingga sang penguasa dan pejabat yang pura² miskin itu adalah satu bentuk penghianatan terhadap kekuasaan yang dimilikinya.

Jangan miskin kalau hanya berpura², sebab jabatan hanya punya masa waktu dan itu pasti berakhir dan tak pernah berpura².

# Catatan_Malam
dari Sejarah kita mengenal